Prolog: Sepak Bola Sarat Prasangka
Dalam salah satu puisinya yang termahsyur, mendiang penyair Sapardi Djoko Damono menyebut bahwa makhluk paling tabah dalam semesta puisinya yang tenang sekaligus resah adalah “hujan bulan Juni.” Puisi dan sepak bola adalah dua hal yang sama-sama indah –tergantung sudut pandangnya– dengan segala panca indera. Tapi, keduanya juga mengajarkan kesabaran, terutama jika pembaca menjadi penikmat bal-balan dalam negeri.
Musim ini layak masuk dalam daftar masa kelam, setelah 2015 akibat sanksi FIFA. Sepak bola nasional memang tak sampai jadi mati suri karena ketegasan induk segala induk. Meski begitu, 2022-23 jauh dari kata layak untuk dirayakan.
Tragedi Kanjuruhan menelanjangi betapa buruknya sepak bola Indonesia, meski embel-embel liga profesional selalu ditempelkan. Peristiwa tersebut adalah akumulasi dari banyak hal yang selama ini sudah sering terjadi dimanapun, tapi kita masih menutup mata.
Klub yang menganggap suporter hanya sebagai ladang uang, suporter yang terlanjur mengimani fanatisme taqlid buta, fasilitas stadion ala kadarnya dan mengabaikan safety, serta petugas keamanan tidak mendapat pelatihan dan pengetahuan memadai.
Sebelumnya, klub-klub ini sudah harus berjibaku dengan kualitas wasit lokal yang masih sarat tanda tanya. Tak heran, kinerja wasit yang sering melakukan keputusan kontroversial membuat suporter bisa menaruh curiga dengan tim lain. “Anak papa”, “Panitia FC” hingga “Cair Cair” adalah sedikit dari banyak komentar dan kredo penuh rasa prasangka.
Namun, ada satu kata kunci yang menjadi akar dari segala masalah di sepak bola Indonesia: pembiaran. Sempat “menghilang”, lalu muncul lagi.
Masalah Klasik: Infrastruktur
Saya masih ingat jelang Liga Super Indonesia (LSI) edisi pertama (2008-09). Banyak klub-klub yang mundur dengan alasan bermacam-macam. Finansial masih rapuh, stadion belum memenuhi standar, soal setumpuk persyaratan agar setiap klub menjadi Perseroan Terbatas, dan masih banyak lagi.
Besar harapan penikmat bal-balan saat itu bahwa LSI bisa menjadi loncatan untuk modernisasi serempak sepak bola. Tapi apa daya, momentumnya patah dengan berbagai masalah di balik pintu kantor PSSI. Satu dekade lebih berlalu sejak “profesionalitas” didengungkan dengan keyakinan, tapi ternyata sepak bola Indonesia masih sama saja. Pembiaran adalah benang merahnya, kadang-kadang ditegakkan dan kadang-kadang kelupaan.
Kita mengambil salah satu contoh pembiaran dari hal yang bisa disaksikan langsung. Kualitas lapangan sebagian stadion peserta Liga 1 ternyata masih memprihatinkan. Padahal, kemampuan resapan jadi salah satu persyaratan oleh PT Badan Liga Indonesia (BLI). Tapi ternyata toh satu dekade kemudian tetap tak ditegakkan dengan tegas. Mungkin pembaca masih ingat saat PSM harus “mengungsi” ke Stadion Gelora Bung Tomo Surabaya pada musim 2015 lantaran Mattoanging tak lulus kriteria. Pahit memang, tapi itu adalah konsekuensi.
Masalah infrastruktur kembali mencuat pasca-Kanjuruhan. Stakeholder dan suporter kembali menyuarakan kenyamanan penonton langsung di tribun. Bagaimana bisa menciptakan pengalaman mendukung yang menyenangkan kalau ternyata suporter menjejali tribun dengan hanya menyisakan sedikit ruang untuk bergerak? Cerita-cerita penonton yang cuma melihat punggung orang sepanjang pertandingan sudah sering terdengar. Karenanya, kebijakan mengurangi kapasitas memang patut diapresiasi, meski pada akhirnya mengorbankan pemasukan klub. Bukankah menuju sepak bola berkualitas harus ada hal-hal yang dijalankan tanpa kompromi?
Sejauh Mana Aturan Finansial Ditegakkan?
Di sisi lain,masalah finansial juga menjadi titik lemah sepak bola Indonesia saat ini. Pada era modern, pemain bal-balan profesional adalah sebuah profesi, sama seperti pekerja kantoran atau penulis seperti Pak Sapardi. Honor adalah penghargaan atas jasa mereka saat bekerja. Tapi, honor mandek tetap terdengar di era sepak bola Indonesia yang serba “profesional.” Miris memang, sebab tentu saja operator kompetisi harus tahu seperti apa kemampuan finansial klub-klub yang mengikuti kompetisi. Ini demi menjaga tim dari potensi “main mata”, kualitas kompetisi, masalah hukum, performa jeblok, hingga ditinggal para pilar penting di tengah jalan.
“Hati yang riang datang dari saldo yang terisi,” istilah tersebut bukan sekadar pesan kosong. Butuh bukti? Persegres Gresik di musim 2017. Tunggakan gaji yang berlarut-larut berimbas pada performa mereka: jeblok ampun-ampunan. Mereka cuma menang 2 kali dari 34 pertandingan, kebobolan 104 gol dan terdegradasi ke Liga 2. Jika Persegres adalah tim yang berlaga di Italia, mereka akan langsung didegradasi sebelum musim dimulai lantaran profil finansial mereka dalam kondisi lampu merah.
Finansial bukan sebuah hal yang patut dikompromikan. Menunggak gaji pemain, staf pelatih dan ofisial tak layak disebut sebagai sebuah kewajaran, sebab menyerempet eksploitasi. Klub pun harus mengukur baik-baik kemampuan finansialnya, tak belanja jor-joran dan memaksimalkan potensi pemain akademi bisa ditempuh, seperti Persebaya Surabaya dan PSM Makassar musim ini.
Epilog: Harapan yang Tumbuh di Era Baru
Berkaca dari kasus-kasus di atas, pelaku dan suporter sepak bola Indonesia layak disebut sebagai manusia-manusia paling tabah. Tapi, kesabaran tentu saja ada batasnya. Ada harapan yang kini berada di pundak Ketua Umum PSSI baru, Erick Thohir. Tak muluk-muluk, yakni menegakkan peraturan dengan tegas.
Kita bisa berkaca pada Kamboja yang mendegradasi empat klub dari kasta teratas sebab tidak memenuhi kriteria. Alih-alih protes, mereka justru berterima kasih lantaran jadi punya banyak waktu untuk berbenah, dan terhindar dari penampilan “malu-maluin” karena liga kejar tayang. Perbaikan besar-besaran langsung terlihat, mendongkrak kualitas kompetisi dan kemampuan klub. Masih segar dalam ingatan saat Visakha FC melumat juara back-to-back Bali United dengan skor telak 5-2 pada fase grup AFC Cup 2022 silam. Strategi Stefano Cugurra begitu mudah patah, citra menakutkan Bali United menguap seketika di hadapan klub sepak bola negara yang pernah berkubang isu suap dan pengaturan skor.
Ketegasan seperti inilah yang dibutuhkan oleh PT Liga Indonesia Baru (LIB) sekarang. Besar harapan agar mereka dan Pak Erick tak lagi meminta liga untuk kejar tayang kemudian melakukan pembiaran-pembiaran atas alasan “ya daripada gak ada kompetisi.” Sekali lagi, ada hal-hal yang harus dikorbankan demi meningkatkan kualitas, sebuah hal yang sudah sering dikeluhkan.
Bukankah salah satu tugas suporter adalah mendorong perubahan? Tanpa perubahan dan peningkatan kualitas, maka ternyata kita semua adalah orang-orang yang senang tenggelam dalam euforia palsu. Dan Pak Sapardi, di atas sana, mungkin semakin yakin bahwa kita semua memang lebih tabah dari “hujan bulan Juni” dan ingin mengambil pena dan secarik kertas untuk menulis puisi baru.
Ngomong-ngomong, format final four musim depan itu untuk kualitas kompetisi atau kepentingan komersial?