Pencinta sepak bola nasional yang sehat pikiran dan jasmaninya tentu mutlak setuju dengan argumen yang menjadi judul. Tapi saat artikel ini ditulis, nasib yang lain Indonesia sedang dalam ketidakjelasan. Baru-baru ini Ketua Umum PSSI menyatakan bahwa kompetisi bergengsi tersebut kemungkinan besar tak akan diputar tahun ini dengan alasan sponsor. Tapi belakangan pak Mochamad Iriawan meralat pernyataan ini, dan mempertegas komitmen untuk tetap melaksanakan program kerja musim 2022-23.
(Pada Selasa 30 Agustus 2022, PSSI memastikan Piala Indonesia musim 2022-23 dihelat setelah mendapat sponsor dadakan. Akhirnya bisa bernapas lega, ya?)
Sebagai penikmat bal-balan, saya cuma tahu dua ajang nasional saja : Liga 1 dan Piala Indonesia. Yang lain saya anggap hanya turnamen pemanasan. Tapi yang tak habis pikir, kenapa memperlakukan sebuah kejuaraan selevel yang Audi Cup (atau Konami Cup) sebagai sebuah parameter kesuksesan sebuah klub musim itu?
Hasrat suporter untuk melihat tim kesayangannya menang, bahkan di saat pramusim memang tidak salah. Tapi yang harus dicamkan adalah itu semua hanya pemanasan, tak perlu all out mengincar trofi yang selevel dengan Trofeo Joan Gamper. Yang namanya pemanasan, tujuannya ya mengembalikan level kebugaran pemain sambil mengutak-atik taktik. Berbeda halnya dengan liga dan kejuaraan domestik di mana klub-klub sudah menemukan pakem strateginya.
Piala Indonesia Jadi Ajang untuk Semua Klub
Nah, berbeda dengan Piala Presiden yang elitis bukan main (cuma melibatkan tim-tim Liga 1), Piala Indonesia jadi ajang peserta Liga 2 dan Liga 3 untuk unjuk kebolehan. Mereka berkesempatan menjajal tim dari level yang lebih tinggi, dan (syukur-syukur) mengalahkannya.
Kapan lagi bisa melihat Madura United bersusah payah menundukkan Persibo Bojonegoro? Atau saat PSMS Medan secara mengejutkan dibekuk 757 Kepri Jaya lewat adu penalti? Atau saat Persiter Ternate nyaris mempermalukan PSM Makassar? Semua drama menarik tersebut tersaji dalam Piala Indonesia edisi terakhir, yakni 2018-19. Saat itu juga, Persidago Gorontalo di luar perkiraan mampu melaju hingga babak 16 besar, sebelum akhirnya kena bekuk Persebaya Surabaya dengan agregat 11-1.
Persidago melaju ke perdelapan final setelah menundukkan Persipura Jayapura lewat agregat 2-2 pada fase 32 besar. Fenomena “liliput menjatuhkan gergasi” ini membuat Piala Indonesia justru lebih seru daripada Piala Presiden. Dan terlebih, kita semua menyukai kisah “giant killer”, kan? Tontonan ala FA Cup itu bisa kita saksikan di negeri (atau di layar kaca) sendiri.
Selain itu, pesta pora merayakan sepak bola juga tak cuma milik suporter klub-klub Liga 1 saja. Saya masih ingat betapa membludaknya Stadion Wijayakusuma Cilacap saat Persib Bandung bertandang ke markas PSCS Cilacap tersebut pada babak 64 besar. Atau saat Gelora Stadion Kie Raha, markas Persiter Ternate, kedatangan 20 ribu penonton yang ingin melihat aksi Rasyid Bakri dkk. Terakhir kali mereka merasakan antusiasme seperti ini di tahun 2007, saat mereka masih berlaga di Ligina. Dan kapan lagi masyarakat Sinjai memenuhi Stadion Andi Bintang karena ingin melihat PSM Makassar bertandang sebagai tamu Perssin, seperti yang terjadi di Piala Indonesia 2007?
Sekali lagi, dua kasta terbawah tersebut memiliki banyak talenta yang menunggu untuk ditemukan. Mereka jadi punya panggung unjuk gigi selain Liga 2 dan Liga 3, sekaligus menarik minat para pencari bakat dan scout milik klub-klub. Para pemain muda di dua kompetisi tersebut juga punya lebih banyak “kelas” untuk memahami dinamika sepak bola lokal. Ada pengalaman berharga yang bisa mereka petik.
Juara Piala Indonesia Lebih Bergengsi
Tentu saja ini sudah mutlak. Konsep “double winner” sebenarnya adalah saat ada sebuah klub menjadi jawara liga sekaligus piala sekaligus dalam satu musim. Sama seperti yang dilakukan Sriwijaya FC pada musim 2007-08, yang menyabet Ligina dan Piala Indonesia sekaligus. Jadi, menurut saya sukar untuk menganggap trofi pra-musim yang setara Inter-Island Cup sebagai sesuatu yang bergengsi.
Dengan jumlah pertandingan yang lebih banyak (juara Piala Indonesia harus melewati 10 pertandingan, sedang Piala Presiden hanya rata-rata 8 laga), kompetisi tersebut jelas akan lebih sengit. Di sinilah klub-klub harus memutar otak agar tak tumbang di tengah jadwal padat. Siapa lebih cerdik dalam hal rotasi dan menjaga kebugaran pemain, tentu dialah yang berpeluang mengangkat trofi.
Bahkan jika dibutuhkan, Piala Indonesia bisa menjadi sarana pembuktian para pemain lapis dua dan cadangan. Mereka bisa menjadi pilar sentral dalam sebuah pertandingan dan penentu hasil akhir. Menit bermain dan pengalaman berlaga adalah sesuatu yang mahal. Sedang bagi Shin Tae-yong, tentu ini jadi kesempatan memperluas scouting-nya setelah ia sudah khatam kualitas para pemain di Liga 1.
Piala Indonesia, nama kejuaraan ini jelas menyiratkan bahwa tak sembarang klub bisa mencapai podium juara. Mereka harus bertandang ke wilayah yang tak pernah mereka dengar sebelumnya, lalu kemudian menekuk tim-tim yang mungkin lebih dijagokan. Hal ini dilakukan oleh Arema FC (2005, 2006), Sriwijaya FC (2007, 2008-09, 2010), Persibo (2012) dan terakhir yakni PSM (2018-19).
Masih perlu bukti sahih? Pemenang Piala Indonesia berhak tampil di AFC Cup, mewakili Indonesia dalam ajang tingkat benua. Sedang Piala Presiden tetap berstatus sebagai “juara pra-musim”, tidak lebih dari itu.