Liga 1 2021/22 sudah selesai, dan PSM Makassar finis di peringkat 14. Ini adalah prestasi terburuk sejak era Ligina. Terakhir Juku Eja berkubang potensi degradasi pada ISL musim 2009/10. Berkutat di zona merah, mendiang Tumpak Sihite datang dan menyeret Joo Ki-hwan dkk keluar dari mimpi buruk.
Kini musim baru segera bergulir, dan AFC Cup sudah di depan mata. PSM melanjutkan tradisi cuci gudang sembari kembali menyeimbangkan neraca keuangan. Direktur Utama Munafri Arifuddin sebelumnya mengatakan “bersih-bersih” tim akan mendepak lebih dari 80 persen staf pelatih dan pemain.
Masalah merekrut dan unggahan “welcome” atau “terima kasih” di akun media sosial biarlah jadi urusan manajemen. Mereka pasti tahu betul apa yang dibutuhkan tim ini. Tapi dua problem utama sudah membayang di saat musim 2022/23 bahkan belum dimulai.
Berkandang jauh dari Makassar
PSSI mulai membuka opsi penonton dan suporter bisa hadir kembali ke stadion. MotoGP Mandalika yang dihadiri 65 ribu orang jadi kunci bagi pihak operator. Klub-klub kasta teratas mulai mempercantik dan mengurus perkara kandang, termasuk RANS Cilegon FC yang keuangannya ibarat kantong Doraemon.
PSM jelas tak mampu ikut bersolek. Stadion Andi Mattalatta Mattoanging kini disulap jadi area kubangan, bekas galian, dan spot mancing dadakan. Tiga kali tender (tiga kali juga desainnya diubah) ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Berkat komunikasi yang dijalin dengan Pemkot Parepare, mereka mulai meraba kemungkinan berkandang di Stadion Gelora BJ Habibie (GBJH). Arena berkapasitas 15 ribu penonton tersebut sudah jalani renovasi bertahap sejak 2020, dan kembali menganggarkan Rp3 miliar dari APBD tahun ini.
Harus diakui, perkara stadion adalah hal yang sulit. Jatidiri di Semarang dan Jakarta International Stadium (JIS) di Jakarta butuh lebih dari satu dekade. Tapi, Manahan cuma perlu 13 bulan. Mengesampingkan faktor-faktor non-teknis, stadion mutlak dibutuhkan oleh kota yang pembangunannya menyasar manusianya lebih dulu. Ruang publik seperti stadion dan sekitarnya berarti memberi warganya tempat bersosialisasi dan berkumpul.
Tak elok rasanya sebuah kota yang mendaku kota dunia, sudah muluk-muluk merancang metaverse jika ternyata membangun stadion saja masih alot dan tarik-ulur. Atau malah kita diminta melarikan diri saja ke dunia virtual sebab masalah di kehidupan nyata sudah kadung sulit?
Kembali ke Mattoanging, sebagian pihak yakin masalahnya bisa selesai jika masing-masing pihak mau mengesampingkan egonya. Toh bukan cuma PSM dan penduduk kota yang gembira jika ada stadion bagus bertaraf internasional. Ini juga bisa menjadi sumber pendapatan tambahan bagi Pemkot/Pemprov. Belum lagi berbicara kemungkinan Timnas bisa bermain di Makassar, jadi salah satu pemberhentian tur klub luar, dan menjadi venue konser besar.
Seperti yang dikatakan Wali Kota Parepare Taufan Pawe tahun lalu, dampak sepak bola terhadap ekonomi skala kecil dan menengah terlalu “seksi” untuk diabaikan. Maka mereka pun menggelontorkan dana yang tidak sedikit agar Stadion GBJH bisa memenuhi standar PSSI. Saat kota berpenduduk kurang lebih 125 ribu jiwa bersiap panen cuan, maka kota terbesar di Indonesia timur berpenduduk 1,5 juta jiwa cuma mendapat euforia semu.
PSM mParepare adalah bukti bahwa keuntungan bisa dimiliki oleh orang yang memanfaatkan peluang.
Profesional di bidang finansial
Saya masih ingat pada tahun 2021 lalu, di tengah sanksi FIFA, muncul kabar bahwa PSM akan dibeli investor asal Jawa Timur dan berganti nama. Alhasil muncullah lelucon “PSM mBanyuwangi” sebagai respons atas gosip yang tidak jelas juntrungannya tersebut.
Namun, belakangan ada rasa gele-gele kalau mengingat itu. Siapa pengusaha yang rela membangun basis dari awal, dan meninggalkan kemungkinan meraup revenue menggiurkan dari pasar yang sudah ada? Mari mengambil sedikit komparasi sederhana yang sedikit apple to apple. Kenapa pedagang Kaki Lima tetap kembali ke tempatnya diusir? Karena di lokasi awal mereka sudah punya langganan, dan pindah berarti harus mencari pembeli baru.
Ya, saya tahu kalau pandemik memukul telak ekonomi, termasuk keuangan klub. Tapi Bali United bisa mencetak laba Rp72 miliar pada tahun 2021 setelah cuma meraup keuntungan Rp5,22 miliar di 2020. Untuk tim yang selalu diejek sebagai “siluman”, jumlah angka dalam laporan tahunan mereka selalu membuat fans dan manajemen klub-klub lain iri.
Sekali lagi, sepak bola adalah jualan laris dalam ekonomi. Asal tim pemasaran bisa bekerja maksimal mencari sponsor, endorsement dan memaksimalkan keran-keran uang lain yang bahkan biasanya tak terpikirkan. Melantai di bursa saham juga sangat menolong.
Asal bisa rutin berkomunikasi dengan para sponsor dengan baik, mendengarkan usul dan ide mereka, pelan-pelan kepercayaan bisa dibangun. Istilahnya, jadi interaksi yang saling menguntungkan.
Duo pandit sepak bola asal Malaysia, Faiz Gurun dan Keesh Sundaresan, dalam acara mingguan “Bola Itu Life” edisi bulan lalu menyebut bahwa PSM adalah klub yang basisnya sudah mengakar kuat. Jadi, investor jelas tak mau menukar pasar dengan lahan kosong tanpa pondasi.
Keuangan klub yang sehat, di mana investor dan sponsor berlomba-lomba masuk, berujung pada lancarnya gaji pemain. Suporter bahkan siap menggelontorkan duit untuk membeli jersey dan pernak-pernik resmi sebagai bentuk kecintaan. Jika diasah dengan baik, untung bisa dipetik dari segala lini. Jika Liga Ramadan saja bisa mendapat sponsor startup transportasi daring dan pengusaha air mineral lokal, kenapa PSM tidak?
Kini, tersisa satu pertanyaan: Kapan manajemen mau membuka pintu kolaborasi selebar-lebarnya? Jika hal-hal di atas terlalu muluk, maka menyeimbangkan neraca keuangan bisa jadi solusi jangka pendek sebelum ngegasmengirim proposal sponsorship sana-sini. Atau kita perlu menyitir pasal 55 ayat kelima poin c UU Keolahragaan yang memprioritaskan suporter untuk memiliki klub melalui kepemilikan saham?
Oh iya, sekadar info, saat tulisan ini dibuat, situs resmi PSM Makassar (sumber informasi utama) sedang ditangguhkan karena belum membayar domain. Ededeh.