Porsi kebahagian tiap manusia pasti berbeda-beda. Kala melihat penggalan kicauan akun twitter PSM Makassar siang ini (8/10), kebahagiaan itu datang menghampiri. Kicauan itu bukan soal capaian fantastis, hanya sebatas kabar bahwa pada jeda seri BRI Liga 1 kali ini, skuat Juku Eja ‘pulang’ ke rumah.
Evaluasi dan Resolusi
Atensi publik sepakbola nasional dalam beberapa pekan terakhir tersedot ke ‘saudara perserikatan’ PSM: PSS Sleman. Kabar tentang benturan pandangan antara manajemen dengan suporter PSS Sleman perihal pindah home base menyeruak ke permukaan.
Pindah home base bukan hal baru di jagat sepakbola tanah air nasional. Laku demikian adalah mimpi buruk bagi suporter klub bola. Telah banyak contoh kasus yang diawali dalih sederhana seperti pertimbangan ekonomi atau hal non teknis lainnya, yang pada akhirnya menyebabkan sebuah klub berubah total. Entah itu nama, sistem pengelolaan, hingga ciri khas yang lenyap. Meninggalkan identitas daerah hingga sejarah yang mengiringi jatuh bangun sebuah klub.
Berkaca dari isu hangat belakangan ini, berita sederhana bahwa Pasukan Ramang ‘pulang’ itu tentu sebuah kemewahan (setidaknya bagi penulis). Bercokol di posisi ketujuh klasemen sementara adalah oleh-oleh yang dibawa dari seberang. Tentu saja, masih butuh banyak perbaikan dan evaluasi di sana sini. Memilih rumah untuk beresolusi dan berefleksi capaian hingga pekan keenam barangkali jalan yang tepat.
Di sisi lain, ada faktor pertimbangan ekonomi yang hitungannya mungkin memang jauh lebih hemat jika berlatih di Bosowa Sport Centre ketimbang tetap di Jawa. Hitungan-hitungan itu biarlah jadi ranah manajemen saja.
Setidaknya, ketika mayoritas keluarga punggawa Juku Eja ada di Makassar, kesempatan berkumpul bersama bagi pemain adalah faktor psikologis yang signifikan. Bertemu istri, anak, dan handai taulan boleh jadi mendorong performa di pekan berikutnya untuk lebih baik. Tentu saja pemain bukan mesin atau kuda pacu. Hal-hal psikologis seperti itu setidaknya memberi dampak berarti.
Melewati enam laga tanpa kehadiran supporter di stadion, di mana mereka hanya bisa bersorak di balik televisi dan cuitan twitter, ibarat kehilangan suntikan semangat. Sehingga, berlatih di rumah sendiri, tentu memberi penyegaran bagi pemain dan setidaknya hiburan bagi supporter.
Rumah yang Masih Sama.
BRI Liga 1 kini digelar di tengah susasana ‘krisis’ akibat pandemi dengan format berseri, tanpa tuan rumah dan penonton. Meski belum seutuhnya kembali normal macam di Eropa sana, sistem kali ini setidaknya memungkinkan kompetisi dapat berjalan, arus kas klub bisa berputar, dan pemain bisa mendapat pemasukan.
Biarlah sederhana, tetapi setidaknya sepak bola Indonesia mencoba bangkit lagi setelah semua sektor lumpuh berdarah-darah. Melihat format tersebut, penulis berpikir bahwa bukankah ini momentum untuk memperbaiki rumah?
Makassar sebagai rumah Juku Eja, tentu jauh dari kata ‘mewah’ yang sesungguhnya. Sebagai klub profesional, ketika rumah ‘tidak punya’ stadion tentu sangat menggiriskan. Kekosongan liga di tahun kemarin ditambah format yang masih seperti ini, tentu suatu kesempatan besar menyiapkan hal tersebut.
Pekan lalu, saya melewati “reruntuhan” Stadion Mattoanging yang masih belum berubah. Kala Oktober 2020 silam, ketika besi berkarat penyangga stadion diratakan dengan tanah. Belum ada besi-besi pancang yang baru. Bahkan papan proyek yang biasanya bertulis estimasi pengerjaan, dana, hingga kontraktor juga nihil. Berita jauh lebih buruk kala Gubernur Sulawesi Selatan, selaku yang menginisiasi renovasi Stadion sedang di Jakarta, di tahanan KPK.
Stadion yang katanya ‘Internasional’ Barombong, perubahannya justru ke arah lain. Semakin banyak lumut dan besi-besi korosif. Progress lanjutan belum ada, kepastian kapan bisa digunakan ‘semestinya’ juga tidak ada. Terlihat seperti peninggalan di zaman lampau saja.
Jika kebahagian berbeda-beda, maka masalah juga berbeda-beda. Masalah klub tertua ini ternyata masih sama, Stadion! Nyesek tentu saja membayangkan ketika ‘new normal’ sudah berlaku sepenuhnya, sistem liga ‘home-away’ kembali, bisa saja Juku Eja masih jadi tim musafir.
Padahal, kehadiran stadion bakal membuat klub menikmati pemasukan tiket dan suporter bisa meluapkan emosi secara langsung saat menonton. Nahas, semua itu masih jauh dari pelupuk mata.
Bangunan stadion sebagai rumah adalah mimpi segenap publik Makassar. Katanya di luar sana, soal administrasi dan surat-menyurat izin sedang digodok pemerintah. Semoga itu benar, tapi jika tidak juga, deh nyesek sekali cika’.
Siang ini, cukup melihat kabar PSM sementara berlatih di Bosowa Sport Centre adalah bahagia sederhana yang patut disyukuri. Selamat datang pahlawan, ayo evaluasi lagi. Rumahmu masih sama. Satu hal yang pasti, di sudut-sudut kota ini masih ada penggemar setiamu, yang semangat dan cintanya masih sama seperti 2018-2019 kemarin, bahkan puluhan tahun yang lalu.
#EwakoPSM!!!