Ingatan manusia pada beberapa penelitian dikatakan memiliki daya penyimpanan luar biasa besar. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan dari Institut Salk di California Amerika Serikat menyebutkan bahwa otak manusia memiliki kapasitas penyimpanan data (memori) sebesar satu petabyte atau sekitar satu juta gigabyte. Mengagumkan bukan?
Layaknya pada penyimpanan peranti elektronik praktis seperti laptop maupun telepon genggam, daya memori sangat vital peranannya sebagai media penyimpanan hal-hal yang kita anggap penting. Cuma bedanya, hal-hal yang kita simpan di dalam peranti elektronik bisa kita hapus kapan saja, sementara otak manusia tidak. Pada telepon genggam misalnya, kita punya kuasa untuk menyimpan hal-hal yang kita sukai saja dan membuang hal-hal yang tidak kita sukai. Sedangkan otak manusia akan menyimpan semua jenis memori, baik memori yang membawa kebahagiaan maupun ingatan-ingatan yang berusaha keras kita hilangkan.работни обувки fw34 steelite lusum s1p 38
normamascellani.it
covorase man
bayern münchen spieler
karl sneakers
addobbi fai da te matrimonio
prestonstadler.com
spoločenské šaty pre moletky
fingateau.com
lifeonthevineministries.com
Penulis tumbuh dan besar di lingkungan yang sangat mudah untuk mencintai olahraga sepakbola sedari kecil. Bermain bola plastik di tanah merah bersama kawan sebaya hingga memutuskan untuk beralih menggunakan bola mikasa karena merasa sudah cukup “besar”. Atau manisnya menang dengan skor besar dan akhirnya merasakan pahitnya kekalahan di final pada kompetisi antar-kelurahan, semuanya adalah serpihan-serpihan memori masa kecil tentang sepakbola yang akan terus hidup bersama penulis.
Masa itu, semua kawan memiliki tim idola masing-masing. Awal 2000-an merupakan masa keemasan sepakbola Italia, hampir semua anak sebaya menggunakan jersey (palsu) kebanggaan, mulai dari AC Milan, Inter Milan, hingga S.S. Lazio. Namun meskipun begitu, semua perbedaan-perbedaan tersebut melebur tatkala pembicaraan kita arahkan pada tim lokal kebanggaan, PSM Makassar. Menyaksikan PSM bertanding langsung di stadion masih hal yang cukup ekslusif bagi kami pada waktu itu. Kami lebih sering menyaksikan pertandingan melalui layar televisi ataupun melalui siaran radio RRI, yang penyiarnya tidak pernah gagal membawa euforia pertandingan melalui gaya histeria khasnya.

Salah satu cara mengetahui jadwal PSM bermain kandang pada saat itu lumayan mudah. Cukup melihat di jalan-jalan apakah banyak om-om (biasa juga tante-tante) yang jualan tiket pertandingan dari pagi hari. Kalau iya, dapat dipastikan pada sore atau malam itu PSM Makassar akan mentas di Stadion Mattoanging. Pemandangan gerombolan pemotor dengan pakaian serba merah menggeber motor bersorai sambil membawa bendera adalah pemandangan lazim jalanan-jalanan makassar yang kita temui ketika PSM Makassar bertanding.
Satu memori yang paling berbekas ketika menonton secara langsung di Mattoanging datang pada September 2003 sewaktu PSM Makassar menjamu tim ibukota Persija Jakarta pada pagelaran Liga Bank Mandiri tahun 2003. Menunggu sejak sore hari dan melalui antrian masuk yang berdesak-desakan cukup parah, akhirnya bersama ayah dapat tempat duduk di tribun selatan tertutup. Pertandingannya sendiri tidak begitu berarti dalam perburuan gelar juara dikarenakan Persik Kediri telah mengukuhkan diri sebagai juara beberapa minggu sebelumnya. Namun partai tersebut (yang dimengerti oleh penulis beberapa tahun setelahnya) sangat menentukan dalam perebutan tiket ke Liga Champions Asia. Pertandingan tersebut wajib dimenangkan oleh tim juku eja karena jika gagal Persita Tangerang siap menyalip di posisi tiga. Malam itu, memori penulis merekam bagaimana duo algojo kala itu, Oscar Aravena dan Christian Gonzales berhasil memporakporandakan pertahanan lawan. Atau saat tarian Ortizan “Sajojo” Salossa setiap kali ia menyisir sisi kiri lapangan selalu berhasil mengundang sorakan-sorakan khas dari penonton. Sorakan mirip penonton Tukul Arwana. Iya, benar yang itu.
Pertandingan usai dengan kemenangan meyakinkan 5-2 oleh tuan rumah. Striker gondrong Oscar Aravena berhasil mencetak 2 gol sedangkan tandemnya Christian Gonzales mencetak satu gol. 2 gol lawan sendiri dicetak oleh pemain muda nasional kala itu, Bambang Pamungkas. Kami pulang ditemani dentuman kebahagiaan suporter-suporter lainnya karena tim Ayam Jantan Dari Timur berhasil finish di posisi 2 dan untuk pertama kalinya akan mentas di panggung Asia membawa nama Indonesia. Malam itu, keranjang memori anak berusia 8 tahun terisi dengan cukup indah.
Keranjang-keranjang memori seputar PSM Makassar pelan-pelan mulai terisi sejak itu. Memori lain ialah saat tak jarang penonton yang hadir di stadion membludak. Tak ayal, kami gagal mendapatkan tempat duduk sehingga harus menonton 90 menit pertandingan dari sentel ban, sampai-sampai ayah rela menggendong penulis di punggung setiap kali mengeluh lelah atau karena kehalangan orang lain. Ah, sangat sulit untuk tidak meromantisasikan sepakbola.
Kenangan dan memori tentu tidak melulu perihal yang manis-manis saja. Pengalaman pahit pun turut mengisi keranjang memori penulis. Contohnya melihat PSM kalah, melihat pemain legenda pamit, atau ketika harapan juara di yang harus musnah di pelupuk mata karena gol menit terakhir menghadapi Bali United tahun 2017 misalnya, kesemuanya menjadi bagian memori yang tak terpisahkan dengan Mattoanging. Tak jarang jua Mattoanging harus menjadi tumbal kekesalan oknum-oknum suporter yang melakukan pelemparan batu, bahkan perusakan sarana prasarana stadion.
Pemain datang silh berganti, jajaran manajemen pelatih pun seperti itu, gelombang penonton maupun suporter juga mengalami regenerasi dari masa ke masa. Di antara semua itu, ada satu yang tak pernah tua dan tergantikan. Adalah Mattoanging, stadion yang dibangun di untuk pagelaran PON tahun 1957 yang selama hidupnya telah melalui berbagai macam verifikasi disebabkan serba keterbatasannya, semua demi menyajikan panggung bagi tim kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan beraksi.

Drama tarik ulur kepentingan atas kepemilikannya setelah bertahun-tahun akhirnya menemui titik terang. Yayasan Olahraga Sulawesi Selatan (YOSS) setuju untuk mengembalikan kepengelolaan Stadion Mattoanging kepada Pemprov Sulawesi Selatan pada awal tahun 2020 kemarin. Per Rabu (21/10/2020) proses awal renovasi dimulai dengan melakukan pemugaran dengan meratakan keseluruhan stadion. Apapun wajah baru Mattoanging nantinya, kenangan Mattoanging dari masa sebelumnya tidak akan pernah hilang dari memori kita, dan memang sudah selayaknya seperti itu. Masing-masing dari kita punya cara sendiri dalam mengenangnya, baik melalui keranjang memori yang baik ataupun pada keranjang memori pahit.
Mari senantiasa memelihara ingatan Mattoanging lama,
Mari bersiap menyambut Mattoanging baru.