Beberapa waktu yang lalu, saya dihubungi salah seorang teman perempuan selepas membuat cerita di media sosial. Dia menceritakan keinginan terbesarnya untuk dapat menonton langsung PSM bermain di dalam stadion. Namun, kecemasan akan terjadinya kericuhan di dalam stadion turut menghalangi minatnya untuk dapat menyaksikan pertandingan bola secara langsung. Apalagi kerap kali terjadi perkelahian di dalam stadion, yang dapat menyebabkan perempuan dan anak kecil menjadi korbannya.
Bukan itu saja, pelecehan seksual juga menjadi masalah yang sangat rentan terjadi di dalam stadion Mattoanging. Saya sempat beberapa kali mendapati suporter perempuan yang terhimpit suporter laki-laki ketika mengantri tiket untuk masuk ke dalam stadion.
Masalah utamanya karena panitia pelaksana tak memberikan jalur khusus bagi perempuan dan anak kecil. Apalagi kerap kali hanya beberapa gerbang saja yang terbuka. Sehingga ratusan suporter harus berdesakan mengantri di dua jalur masuk yang disediakan pada setiap gerbangnya. Belum lagi ketika terjatuh, akan terinjak-injak kaki suporter yang saling dorong, sungguh resiko yang besar.
Atau ketika di dalam stadion, saat-saat pertandingan berlangsung. Biasanya baik suporter laki-laki maupun perempuan berdiri saling bersebelahan, bersorak dan menggerakan badannya untuk memberikan dukungan kepada timnya. Masalah utamanya terjadi ketika stadion penuh sesak suporter, sehingga tak jarang setiap tangga diisi oleh dua baris penonton, dimana penonton baris kedua berdiri di belakang penonton baris pertama.
Sebab itu pula, sebagian teman perempuan saya merasa tak nyaman ketika hendak menonton di stadion, sebab stadion Mattoanging belum ramah perempuan. Mereka harus menerima situasi, menjadi penonton layar kaca. Padahal sebagai ruang publik, pengelola stadion harus memberikan kenyamanan kepada siapapun. Salah satunya dengan memberikan ruang tersendiri bagi perempuan di dalam stadion bagi yang tak ingin berbaur dengan penonton lain.
Nampaknya stadion bagi sebagian perempuan telah melambangkan arena maskulinitas, dimana dominasi laki-laki terlihat begitu kuat. Keadaan stadion Mattoanging sepertinya telah menggusur perempuan dari olahraga merakyat ini, wajar saja sepakbola perempuan PSM masih kesulitan berkembang, meski baru berdiri beberapa waktu terakhir.
Kurangnya perhatian yang diberikan pengelola stadion Mattoanging kepada perempuan dan anak-anak mungkin disebabkan karena jumlah mereka yang tak terlalu banyak di stadion. Walau bagi saya, kehadiran suporter perempuan di dalam stadion turut memberi warna tersendiri bagi sepakbola Makassar.
Saya begitu mengapresiasi mereka, terutama semakin banyaknya berdiri komunitas suporter perempuan di Makassar. Tak jarang beberapa dari mereka memiliki peran yang cukup vital, salah satunya sebagai koordinator lapangan yang mengomandoi gerakan suporter. Namun tetap saja, jumlah perempuan di dalam stadion bisa dibilang kurang.
Alasan yang mempengaruhi kuatnya dominasi laki-laki dalam olahraga sepakbola bisa saja dipengaruhi oleh kebiasaan bermain yang berlangsung pada masa kanak-kanak. Sejak kecil, perempuan diidentikkan dengan permainan yang berhubungan dengan kecantikan dan tataboga. Anak perempuan yang bermain bola di masa mudanya bagi sebagian keluarga dianggap sebagai hal yang tabu, dan tentu saja “kotor”. Sehingga tak layak dimainkan, sebab tak feminin.
Pada masa kecil, saya pernah memiliki seorang teman perempuan yang setiap sore bersama kami bermain sepakbola di jalanan. Dirinya menjadi salah satu dari puluhan anak perempuan di daerah saya yang bermain sepak bola jalanan bersama anak laki-laki lain. Karena itu masyarakat setempat memberikan label “belaki” kepadanya, atau sebutan yang diberikan kepada perempuan yang terlihat bergaya seperti lelaki bagi masyarakat daerah saya. Cirinya seperti berambut pendek, berbaju kaos dan bercelana pendek, serta bermain bola, yang bagi masyarakat diidentikkan dengan gaya maskulinitas.
Selain itu, media visual juga turut memperkuat dominasi laki-laki dalam olahraga ini. Betapa tidak, nyaris setiap pertandingan sepakbola yang disiarkan secara langsung, acap kali sorotan kameramen mengarah kepada perempuan yang dinilai cantik, seolah menunjukkan keperkasaan laki-laki dengan menjadikan perempuan objek visual. Dengan begini, semakin memperlihatkan inferioritas perempuan di layar kaca.
Bukan itu saja, tak jarang komentator mengeluarkan kata-kata yang bernada sexis. Ketika suatu sorotan kamera memperlihatkan penonton perempuan tengah menonton ataupun berjoget ria. Biasanya komentator memberikan candaan berkonotasi vulgar, menyoroti salah satu bagian tubut perempuan. Jelas itu merupakan hal yang tak layak diperdengarkan masyarakat Indonesia.
Kehadiran perempuan dalam sepakbola kerap kali hanya dianggap sebagai pemanis belaka, sebagai objek fantasi dari praktik maskulinitas dalam olahraga ini. Praktik maskulinitas ini merupakan konsekuensi dari cara pandang eksploitatif segelintir oknum sepakbola yang diperparah struktur sepakbola yang kurang berpihak pada perempuan.
Meski begitu, belakangan ini mulai terlihat upaya-upaya untuk menciptakan keseimbangan gender dalam sepakbola Indonesia, seperti kehadiran turnamen sepakbola perempuan di Indonesia yang kembali mulai diselenggarakan dalam satu musim terakhir.
Selain itu yang perlu diapresiasi adalah kehadiran perempuan dalam struktur formal institusi sepakbola Indonesia (PSSI) seperti jabatan sekretaris Jenderal (Sekjend) PSSI yang pernah dijabat oleh Ratu Tisha dalam beberapa musim sebelumnya. Meski kehadirannya kerap kali mendapat cemoohan bernada vulgar yang lagi-lagi merupakan ulah oknum suporter patriarki.
Mari berharap kedepannya akan bermunculan sosok perempuan yang bisa berkontribusi lebih dalam kemajuan sepakbola Indonesia dan tentunya agar ruang-ruang publik seperti stadion bola dapat ramah diakses oleh perempuan. Demikian dengan harapan kita kepada stadion Mattoanging setelah direnovasi, mudah-mudahan saja.