“Tanah lapang kami berganti gedung, mereka ambil untung kami yang buntung” – Silampukau
Sepenggal lirik lagu Silampukau diatas nampaknya cukup menggambarkan secara sederhana bagaimana kegelisahan yang dialami anak-anak muda yang harus merasakan hilangnya lapangan sepakbola mereka akibat pembangunan gedung-gedung kota.
Lambat laun, lahan-lahan publik ini berganti menjadi ruang privat, untuk selanjutnya diprivatisasi dan juga dikomersilkan. Transformasi ruang-ruang kota ini turut mempengaruhi tren bermain bola masyarakat setempat.
Cerita ini juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia, tak terkecuali Makassar dan sekitarnya. PSM Makassar menjadi salah satu tim yang turut merasakan dampak dari berkembangnya Kota Makassar yang telah berlangsung sejak masa orde baru silam.
Pada masa-masa turnamen perserikatan, PSM menjadi salah satu tim besar yang diperhitungkan di kancah nasional hingga mancanegara. Tim ini mampu bersaing dengan bermodalkan pemain-pemain lokalnya, yang notabenenya tak pernah bersentuhan langsung dengan akademi sepakbola modern.
Kita begitu mengenal sosok Ramang, maha legenda yang namanya di jadikan ikon kesebelasan. Sejak kecil beliau menjadikan sepakbola sebagai hobi, tanpa pernah mengenal embel-embel akademi sepakbola modern. Menjadi pemain sepakbola baginya hanya sebagai ajang penyaluran minat, disamping aktivitas kesehariannya, bekerja menarik becak dan kernet bus di jalan-jalan kota Makassar.
Lantas apa gerangan yang membuat Ramang dan pesepakbola PSM pada masanya mampu menghibur publik Makassar tanpa bersentuhan dengan akademi sepakbola?
Faktor mendasar dari berkembangnya tren bermain bola pada masa-masa awal kemerdekaan adalah banyaknya tersedia lapangan bola, yang merupakan bekas tanah-tanah kolonial. Tanah lapang yang dulunya digunakan sebagai tempat latihan militer kolonial dan sebagai lahan pertanian ini kemudian dipergunakan oleh masyarakat setempat untuk bermain sepakbola dikala sore hari.
Banyaknya tersedia lapangan-lapangan hijau turut membangun animo sepakbola yang besar. Sebagai sebuah ruang publik, lapangan-lapangan ini menjadi arena kolektif yang dapat diakses segala golongan masyarakat, untuk melepas penat mereka. Sepakbola pada masa itu lebih ditempatkan sebagai sebuah permainan olahraga kolektif yang lebih fleksibel nan santai. Tak memiliki rules seketat turnamen sepakbola modern hari ini.
Namun, paradigma pembangunanisme yang digunakan pada masa orde baru silam turut merubah kota-kota di Indonesia pada umumnya. Paradigma pembangunanisme telah merubah wajah ekonomi Indonesia, dari yang dulunya bergantung pada agraria, bergerak menuju industri yang berpusat di kota-kota besar. Karena itu, tumbuh suburlah kawasan industri di berbagai kota.
Dalam melihat perubahan tata spasial kota, Anthony Giddens jauh-jauh hari telah menganalisis tren urbanisme yang terjadi di kota-kota besar. Kemunculan urbanisme atau secara sederhana disebut kekotaan dimulai sejak berkembangnya industrialisasi di kota-kota pada puluhan tahun silam. Sejak itu, gelombang-gelombang penduduk dari desa mulai berdatangan ke kota untuk mencari lapangan pekerjaan.
Kedatangan para penduduk desa usia produktif ke kota industri ini disebabkan berkurangnya lapangan pekerjaan di desa, beserta berkurangnya lahan-lahan pertanian yang dapat diolah. Akibatnya para pekerja usia produktif ini kian terusir dari basis produksinya dan tanah asalnya.
Alhasil, kota-kota industri kian memadat, terjadi pembukaan lahan besar-besaran yang dipergunakan sebagai kawasan perumahan dan kawasan ekonomi industri. Disini terjadi transformasi ekosistem, dari yang dulunya ekosistem alami menjadi ekosistem buatan. Manusia perlahan telah merubah alam.
Akibatnya ruang-ruang terbuka semakin berkurang, sebab tingkat permintaan ruang semakin besar. Lapangan-lapangan hijau yang dulunya dipergunakan untuk sarana rekreasi dan olahraga kian hilang, begitupula dengan lapangan sepakbola sederhana yang dipergunakan sebagai tempat bermain sepak bola masyarakat setempat.
Kemunculan Sepakbola Jalanan
Kurang tersedianya tanah lapang mengharuskan anak-anak muda untuk menyesuaikan dengan keadaan ruang, termasuk bermain bola di jalan-jalan kecil dan gang-gang sempit. Kelahiran sepakbola jalanan menjadi penanda dari semakin memadatnya kota beserta lika-liku masalah keseharian masyarakatnya.
Permainan sepakbola jalanan tak kalah sederhana dari pendahulunya, sepakbola lapangan hijau terbuka. Keunikan mendasar dari permainan sepakbola jalanan ini adalah penggunaan bola plastik. Bola plastik lebih dilirik sebab harganya begitu terjangkau dan mudah ditemui di warung-warung terdekat. Maka tak heran jika penjual barang pokok juga turut menjual bola plastik di emperan tokonya.
Perbedaan lainnya adalah sepakbola jalanan telah mengenal sistem relasi kuasa. Biasanya empunya bola adalah orang yang berhak mengatur rules pertandingan, siapa yang akan direkrut menjadi rekan setimnya, siapa yang diperbolehkan bermain, berapa ukuran arena permainan dan ukuran gawangnya, serta berhak mengatur waktu pertandingan. Meskipun kerap kali pertandingan berakhir ketika terdengar suara adzan magrib, atau lebih ekstrimnya, ketika salah seorang ibu dari anak-anak ini mengejar mereka, membawa tongkat cambuk.
Penggunaan sendal jepit sebagai penanda ukuran gawang menjadi ciri khas dari permainan sepakbola jalanan, berbeda dengan sepakbola lapangan terbuka pendahulunya yang biasanya menggunakan sebatang bambu atau kayu sebagai penanda gawangnya. Biasanya pemain berbadan gemuk akan dipriotaskan sebagai penjaga gawang, sebab akan lebih sulit untuk dijebol.
Meski begitu, sepakbola jalanan selalu menjadi permainan yang merakyat. Siapapun bisa saja mempergunakan ruang publik ini, tanpa perlu merogoh kocek untuk menyewa tempat bermain. Asalkan tak terhalangi laju kendaraan bermotor.
Mobilitas kendaraan di kota yang cepat lagi massif ini turut mempersulit permainan sepakbola jalanan, sebab para pemain harus berbagi ruang dengan pengguna jalan. Kepadatan jumlah volume kendaraan mendorong mereka untuk bermain di jalan-jalan kecil yang tak terlalu banyak dilalui kendaraan bermotor.
Nampaknya, beberapa waktu kedepan, sepakbola jalanan akan kian sulit ditemukan, sebab semakin hari jumlah kendaraan bermotor kian bertambah, berbanding lurus dengan kebutuhan akan ruang.
Untuk mengembalikan marwah sepakbola rakyat, eksistensi lapangan menjadi hal yang sangat penting. Masyarakat membutuhkan lapangan-lapangan publik, yang juga dapat dipergunakan sebagai ruang terbuka hijau, tentunya untuk mengembalikan antusiasi masyarakat Makassar terhadap sepakbola. Sebab, sejatinya sepakbola ada milik rakyat.