Buat para penggemar sepakbola tanah air nama besar PSM Makassar tentu bukanlah hal yang asing. Dengan berbagai macam koleksi gelar juara baik dari era perserikatan hingga era ligina sampai saat ini di era sepakbola modern nama besar itu tetap terjaga. Tapi di samping nama besar yang melekat pada PSM tentu ada pula beberapa stigma negatif yang menyertainya, seperti anggapan bahwa suporter PSM adalah suporter yang beringas, sangar, dan anarkis. Hal ini tentu tidak bisa ditampikkan melihat rekam jejak militansi suporter PSM yang sangat luar biasa. mereka tidak segan-segan untuk ikut mendampingi tim kebanggaan mereka dimana pun berlaga.
Buat para pencinta bola tanah air yang telah mengikuti perkembangan sepakbola sejak era ligina tentu masih ingat benar pada saat kompetisi masih berformat dua wilayah yang kemudian dilanjutkan dengan fase 8 besar, pada saat itu PSM merupakan langganan 4 besar wilayah timur yang mana otomatis lolos fase 8 besar dan berlaga di senayan. Pada momen-momen demikian ribuan suporter PSM dari Makassar akan berbondong-bondong melakukan perjalanan menuju ibukota untuk mendampingi klub kesayangan mereka. Pada saat ribuan suporter ini menginjakkan kakinya di ibukota dan bertemu suporter klub lain yang juga datang ke ibukota untuk mendukung klub kesayangan masing-masing maka gesekan antar suporter sulit dihindari.
Untuk adik-adik remaja belasan tahun yang mungkin baru saja mengikuti perkembangan sepakbola beberapa tahun terakhir tentu tak kan bisa membayangkan betapa menyeramkannya kejadian-kejadian bentrokan suporter pada masa itu. Pada masa itu setiap orang masih sangat mudah untuk membawa senjata tajam kemana-mana, pengawasan dan pengawalan pihak keamanan belum seketat sekarang, penyebaran informasi juga belum semudah dan seluas seperti saat ini. Maka kemudian atas nama membela panji-panji klub kebanggaan yang menjadi harga diri, acap kali nyawa menjadi taruhannya.
Sudah banyak nyawa melayang diakibatkan bentrokan antar suporter sepakbola pada masa itu. Bahkan menurut beberapa tokoh yang menjadi saksi hidup kejadian, korban sebenarnya sangat banyak dibandingkan jumlah korban yang terekspos di media. Suporter PSM tampil sebagai salah satu kelompok suporter yang beringas, bermusuhan dengan berbagai kelompok suporter lainnya seperti Bonek (Persebaya) Panser Biru (PSIS), The jak (persija) dll.
Bayangkan saja mereka tak segan berbuat onar ketika bermain jauh dari kandang apalagi jika bermain di kandang. Stadion Mattoangin benar-benar menjadi neraka bagi tim tamu, teror suporter tidak hanya terjadi pada saat pertandingan tapi juga telah dimulai sejak tim tamu menginjakkan kakinya di Makassar. Bahkan tak peduli apapun hasil akhir pertandingan jika terdapat provokasi yang berlebihan maka akhir pertandingan bisa dipastikan tetap ricuh dan menjadi mimpi buruk bagi tim tamu.
Tapi itu dulu…..
Di era sepakbola modern saat ini para suporter PSM perlahan-lahan mulai berubah dan menjadi semakin dewasa dalam mendukung tim kebanggaannya. Mereka mulai mengedepankan kreativitas dan sportivitas tapi tetap dengan semangat dan militansi yang masih terjaga bahkan makin kesini makin meningkat. Makassar menjelma menjadi tuan rumah yang sangat ramah bagi tamunya. Tentu masih segar dalam ingatan ketika suporter PSM dengan kreatifnya menampilkan korea yang berpesan untuk mendamaikan 4 kelompok besar suporter Indonesia yang sedang bermusuhan. Juga bagaimana Bonek (Persebaya) yang notebenenya dulu merupakan musuh bebuyutan disambut dengan hangat di tribun dan ikut bernyanyi bersama dengan kelompok suporter PSM.
Tapi insiden yang terjadi menjelang final Piala Indonesia 2019 yang mempertemukan PSM dan Persija di mana bus pemain Persija mendapat lemparan batu hingga kaca bus yang membawa pemain Persija pecah tentu menjadi hal yang mencoreng image positif yang sementara dibangun oleh kelompok-kelompok suporter di Makassar. Aksi tidak terpuji dari oknum yang mengatasnamakan suporter ini tentu dikecam oleh seluruh pihak dan akan segera dicarikan solusinya yang tepat.
Belakangan ini PSM kerap kali mendapat julukan sebagai The Real Champions. Julukan yang tentu datang bukan tanpa sebab. Julukan ini diberikan akibat PSM dianggap menjadi simbol juara di hati masyarakat pecinta sepakbola tanah air, ditambah lagi dengan sikap suporternya yang makin baik dan ramah serta tak memiliki musuh dari kelompok suporter manapun. Predikat ini tentu harus tetap dijaga karena ini lambat laun menjadi image positif yang harus tetap dibangun oleh suporter PSM.
Perdamaian antar suporter sepakbola di tanah air juga mesti terus ditingkatkan dan dijaga mengingat suporter merupakan denyut nadi kemajuan persepakbolaan nasional.
Percayalah, Makassar adalah tempat terbaik, teraman, dan ternyaman bagi seluruh pencinta sepakbola tanah air. Karena bagi orang Makassar, adalah sebuah hal yang memalukan jika sebagai tuan rumah tidak mampu melayani dan menjaga keamanan serta kenyamanan tamunya mulai dari saat datang hingga pulang. Salam damai suporter Indonesia.