Kala jeda kompetisi Liga 1 selama seminggu lebih saat momen Idul Fitri yang lalu, PSM Makassar mendapatkan penghargaan dalam hal tingkat okupansi (kehadiran) penonton tertinggi pada setiap laga kandangnya. Tidak berlebihan memang ketika kita melihat di setiap matchday yang dilangsungkan di Stadion Mattoanging selalu full dengan tingkat kehadiran penonton rata-rata kurang lebih 13.000 pasang mata, kala stadion berkapasitas maksimal 15.000.
Sebuah prestasi yang bisa dibilang tidak boleh dianggap remeh, mengapa? Karena stadion full berbanding lurus dengan perputaran uang di kas manajemen, bukan begitu? Setidaknya pemasukan tiket kini menjadi dayung utama bagi manajemen demi membuat “perahu” tim Juku Eja tetap berlayar kala skuat PSM disebut salah satu dream team diantara para kontestan liga “super ketat” seantero penjuru bumi, kata coach RRA. Karena rumusnya adalah dream team sama dengan “mahal”. Belum lagi frekuensi laga live di Makassar tengah subur-suburnya, serta kedewasaan suporter membeli jersey klub yang original karena kualitas sebanding harga yang mencekik. Ladies and Gentleman, Business is Good !!!.
Kala ribuan pasang mata memadati stadion uzur berkarat Mattoanging tiap laga kandang, balasan performa Hamka Hamzah cs pun luar biasa. Menyapu bersih poin kandang dari pekan pertama Juku Eja belum sekalipun kehilangan poin di rumah sendiri, terlepas dari pemberitaan yang ramai di beranda maupun lini masa sosial media akhir-akhir ini yang dengan sinis menyampaikan bahwa PSM menjadi sering diutungkan di rumahnya kala setiap laga tim tamu harus memilih diantara dua, yakni menerima kartu merah atau diganjar penalti. Toh, di akhir setiap laga pegiat sosmed pendukung Juku Eja juga rajin mengupload foto atau video guna memberi bukti jikalau kartu merah itu layak diberi atau keputusan hukuman sepakan 12 pas yang sudah pantas diambil wasit. Sebuah Alasan? Bukan ini sebuah sudut pandang, kami menang kami bangga.
Jika melihat PSM hanya dari performa laga kandang maka bisa dibilang, PSM sedang baik-baik saja, tapi bisakah haus gelar klub tertua ini terlepas hanya dengan terus menerus berharap dari poin kandang? tentu saja bisa, tapi berapa probabilitasnya? Mungkin hanya berkisar 25% itupun masih dengan syarat tim pesaing lain mengalami hal serupa. Mengkhwatirkan? harus diakui, iya!. Setelah menahan imbang Tim Naga Mekes di Tenggarong dan merontokkan mitos Keangkeran Stadion Marora Serui, setelah itu Juku Eja hanya berhasil membawa pulang sebiji poin dari Gresik. Sisanya harus tumbang di Tanah Minang, Pakansari, dan Kota Kembang.
Sejak pertama saya mencintai PSM seutuhnya, kala itu PSM tengah diperkuat gelandang ceking setipikal Pluim, Ronald Fagundez, saya mengerti satu hal, di Liga Indonesia, menang tandang adalah sesuatu pencapaian yang tidak mudah butuh “usaha berlipat ganda”. Sejak saat itu saya mulai belajar berhitung kemungkinan terbaik saat awayday adalah seri, karena Tuan Rumah punya pemain ke 12 nya masing-masing, serta wasit yang gemar menyayangi si pemilik rumah, di Indonesia sudah seperti itu sejak dulu.
Permainan PSM di laga tandang sebetulnya tidaklah buruk-buruk amat, dari 3 laga yang berakhir kekalahan skor akhir hanya berdefisit 1 gol. Pangkal permasalahan seringkali ada ialah permainan yang didikte lawan dengan mematikan kreator serangan serta “mesin” yang terlambat panas. Seperti kala harus mengakui keunggulan Persib Bandung serangan baru mulai hidup kala memasuki seperdua akhir 45 menit kedua, serupa kala ditekuk PS TNI di Pakansari. Dan juga PSM kerap gagal menjaga fokus 90 menit penuh, seperti kala ditahan imbang Mitra Kukar dan dipermalukan Semen Padang.
Meskipun tidak jarang menciptakan banyak peluang berbahaya di laga tandang, PSM kerap gagal mengkonversinya menjadi sebuah gol, aliran bola kadang sudah cukup baik dari lini belakang dan lini kedua, tapi di sepertiga akhir lapangan kadang mandek gagal berbuah gol. Ini merupakan salah satu pekerjaan rumah terberat tim pelatih, bukan hanya di laga tandang, termasuk di laga kandang. Selain itu variasi serangan harus ditingkatkan dengan tidak melulu “Pluim-sentris” atau berharap pada duel bola udara sang juru gedor impor Reinaldo, karena adalah kerugian kala Pluim kembali berhasil dimatikan lawan dengan baik, dan “Si-Botak” tidak berhasil memenangi bola crossing.
Next match Juku Eja kembali harus melakukan lawatan ke markas Beruang Madu, tim yang lagi semenjana, tetangga yang terpisahkan selat Makassar, Persiba Balikpapan. Mau tak mau PSM harus bisa mengulang prestasi tahun lalu kala berhasil membawa pulang 3 poin dari Kalimantan dan tetap menjaga jarak poin di klasemen yang sangat-sangat rawan.
Harus diakui sekali lagi menang tandang di Liga Indonesia bukan pekerjaan mudah, setiap tim punya “pemain ke-12” masing-masing, banyak faktor non teknis salah satunya jarak, dan bisa pula karena stadion mereka yang mungkin terlalu megah dibanding rumah kita yang berusia renta, dan meskipun setiap stadion punya “rano-rano”nya (mitos) masing-masing, dan itu semua tidak boleh menjadi alasan terus menerus untuk tim dengan target yang tidak main-main yaitu juara. Kokok ayam jantan harus lantang dimanapun iya berpijar, tetap fokus dan semangat pahlawan
EWAKO PSM !!!