Penggemar literasi sepak bola Indonesia mungkin sudah akrab dengan nama-nama penulis seperti Zen RS, Mahir Pradana, Darmanto Simaepa, Arman Dhani, Eddward S. Kennedy, Sindhunata dll. yang hingga hari ini masih bergeliat mengikuti gelora sepak bola nasional baik yang terjadi di atas lapangan sampai apa yg kemungkinan terjadi di luar stadion, yang terjadi sebelum kick-off, hingga pasca injury time. Hingga awal tahun ini saya mendengar nama Antony Sutton, pemilik akun Instagram dan Twitter @jakartacasual yang belakangan sering muncul di timeline saya. Tanpa melakukan riset jauh-jauh, belakangan saya baru tahu klo dia adalah seorang ekspatriat dari Inggris dan juga seorang Gooners—sebutan untuk fans Arsenal— yang ternyata sudah lama mengikuti dan katanya sangat menikmati perkembangan sepak bola nasional (sepbolnas) lalu akhirnya menuliskan pengalaman serta pendalamannya terhadap sejarah, problematika, resolusi dan mimpi-mimpinya tentang sepbolnas kedalam blog miliknya dan buku “Sepak Bola; The Indonesian Way of Life”.
Apa yang dia gambarkan tentang atmosfer sepak bola Indonesia adalah kemiripan dengan nuansa heroisme sepak bola Inggris tahun 70-an, dilihatnya sebagai kultur sepak bola yang masih suci dan sangat bergelora, tentu saja itu dengan syarat harus terlepas dari intrik politis federasi dan aspek ekonomis lainnya. Agak berlebihan saya rasa dan yang lebih mengagetkan, pengakuan itu datang dari bule Inggris yang hobi berkelana dari 1 stadion ke stadion lain menyaksikan pertandingan sepak bola dari berbagai kasta liga di ASEAN, khususnya di Indonesia. Ada ketertarikan rasanya jika seorang penduduk kota London yang jauh-jauh ke Indonesia ternyata masih doyan dengan gempita grasah-grusuh sepak bola kita, dengan keadaan yang sedang terjadi saat ini.
Terlebih saat melihat dia menjelaskan benang merah konflik federasi sepak bola kita dengan gamblang. Lebih jauh Sutton bercerita dalam bukunya bahwa kemurnian sepak bola Indonesia sama sekali tidak terletak pada bagaimana para eksekutif mengelola sepak bola, teknis permainan atau akademi-akademi sepak bolanya, melainkan kemurnian sepak bola dapat dengan jelas dilihat di atas tribun-tribun stadion klub lokal. Sutton bercerita dengan naratif apa yang dilihatnya dan dengan opini subjektif menjelaskan das sein das sollen sepak bola jika itu berkiblat pada sepak bola modern dari tempat asalnya, Inggris. Baginya, tak perlu lagi ada pertanyaan sebesar apa gairah bangsa Indonesia terhadap sepak bola. Puja-puji akan potensi selalu ada pada obrolan setiap tulisan tentang sepak bola Indonesia. Justru ingin dipertanyakan adalah mengapa terus menerus berada di papan bawah sepak bola dunia?
Sutton pertama kali menyaksikan pertandingan sepak bola Liga Indonesia secara langsung di stadion pada tahun 2006 antara Persija vs Sriwijaya FC di Stadion Gelora Bung Karno. Sejak saat itu, pria gempal yang tak mengakui dirinya hooligans ini mulai merasakan gelora yang luar biasa dalam setiap pertandingan sepak bola di stadion Indonesia dengan segala keterbatasan fasilitas stadion yang ada. Selama di London, dia jarang sekali melewatkan pertandingan-pertadingan Arsenal yang menurutnya sebagai klub terbaik dunia. Tentu kita paham dan harusnya setuju karena London Utara adalah rumah bagi para Gooners dan juga rumah seorang Antony Sutton kecil. Bukan permasalahan gaya mendukung dan kemegahan antara Inggris tahun 70-an dan kultur sepak bola Indonesia saat ini, tapi adanya energi yang sama-sama luar biasa tentang loyalitas, militansi dan totalitas dalam mendukung timnya baik itu di Emirates Stadium atau di Stadion Tambaksari Surabaya sekalipun. kemudian Sutton nampaknya semakin penasaran dengan kegilaan para suporter klub lokal seperti Jakmania, Bobotoh dan Bonek. Menurutnya, suporter kerapkali menjadi korban media melalui stereotyping yang dilakukan para pewarta berita tanpa mau menggali lebih dalam siapa mereka dan untuk apa mereka mendisiplinkan totalitasnya.
Sutton nampaknya sangat paham dengan pernyataan Bill Shankly (pelatih tersukses Liverpool sejak tahun 1963) yang menganggap sepak bola melebihi urusan hidup dan mati. Jika masih dianggap permainan biasa, jenis permainan apa yang paling banyak membunuh penonton daripada pemainnya sendiri? Mungkin hanya sepak bola, jika memang dianggap sebagai ‘permainan biasa untuk membakar kalori’. Sutton mengambil contoh dalam rivalitas antara Persebaya-Arema, Persikota-Persita, PSIS-Persis, atau yang paling akrab ditelinga Persija-Persib.
Pihak penyelenggara liga selalu dibuat pusing jika tim-tim tersebut harus bertemu dalam pertandingan resmi liga. Persija melawan Persib berarti pula Jakmania melawan Bobotoh, bentrokan kedua kelompok harusnya sudah dimulai beberapa hari sebelum kick-off menjelang perjalanan awayday suporter tim tamu, kerusuhan di stadion hingga masing-masing suporter kembali ke kota masing-masing. Harus ada korban jiwa yang membuat salah satunya jumawa dan menang agar pada permuan match berikutnya ada alasan untuk mengulangi bentrokan yaitu balas dendam. Namun bukan itu yang dimaksud Sutton sepagai passion-nya melainkan risiko yang siap mereka tebus dengan alasan hanya agar bisa hadir di stadion markas lawan dan mendukung tim kebanggaannya.
Lalu bagaimana para Bonek ber-awayday ke Bandung dan melakukan aksi penjarahan untuk survive sepanjang jalur kereta yang dilalui dari Jawa timur membelah jawa tengan dan masuk ke Jawa Barat, Sutton melihatnya sebagai kebetulan yang mirip dengan kerusuhan yang dibuat Hooligans Manchester United saat terdegradasi ke kasta bawah pada tahun 70-an. Bagaimana dengan Aremania vs Bonek akan mengingatkannya pada rivalitas antara Gooners dan Spurs dari tempatnya berasal? Pasoepati dengan Snex? Masing-masing punya alasan sendiri, akar sejarah dan cara bertarungnya masing-masing.
Belum lagi kelucuan yang terjadi di dalam stadion seperti saat polisi membubarkan pertandingan resmi di Stadion Manahan Solo yang membuktikan bahwa federasi sama sekali tidak memiliki kekuatan mengatur liganya sendiri. Sutton sepertinya sangat memahami sejarah sepak bola Indonesia dari narasi yang digambarkan saat kompetisi berjalan pada masa perserikatan dan era galatama hingga keduanya bergabung menjadi liga profesional di Indonesia. Tak sedikit pengalaman Sutton menjajaki beberapa stadion kecil di berbagai pulau di Indonesia, termasuk menyaksikan langsung pertandingan tim-tim amatir di kasta terendah sekalipun. Entah apa yang menjadi pertimbangannya untuk memilih pertandingan mana yang akan dia datangi, mungkin tensi rivalitas, kualitas permainan, atau tiket termurah dan terdekat dari lokasinya berada.
Dualisme liga dan federasi juga tak luput dari perhatiannya, saat keserakahan politik mewabah dalam tubuh sepak bola kita yang sebelumnya sudah sakit dan semakin terpuruk oleh pecahnya rezim kepemimpinan dibawah PSSI dan KPSI yang membuat orang harus memilih ISL atau LPI. Sesederhana itu namun dampaknya sangat parah hingga FIFA akhirnya menjatuhi sanksi kepada PSSI berupa pencabutan hak serta dan pengakuan legalitas dari AFC dan FIFA.
Ada beberapa harapan yang dia tekankan untuk kemajuan sepak bola, diantaranya beberapa testimoni masalah perbaikan fasilitas di stadion dan pembenahan sistem regulasi turnamen. Namun nampaknya Sutton lebih bersemangat membicarakan potensi branding untuk para fans yang menggilai merchandise, jersey hingga pernak-pernik kecil klub kesayangannya untuk kelangsungan hidup sepak bola dalam industri modern yang mandiri dimana permasalahan fundamental dari sepak bola nasional adalah keterbatasan/sentralisasi sponsorship sebagai ‘sugar daddy’ tim-tim lokal. Inilah yang menjadi akar mati segala konflik dalam lubang hitam kusut sepak bola di Indonesia yang menjadi salah satu faktor menghantar Diego Mendieta menemui ajalnya di Indonesia akibat klub lepas tangan menanggung biaya pengobatan atas sakitnya.
Kelebihan dari buku ini adalah Sutton medeskripsikan segalanya dengan jujur sebagai seorang ekspatriat dan subjektif dan tak mengikat pihak manapun. Namun nampaknya ada yang kurang jika sepak bola Indonesia hanya berbicara tentang tim-tim besar di Pulau Jawa saja. Apakah dia pernah menyaksikan Perssin Sinjai di Stadion Andi Bintang? Atau turnamen Habibie Cup di Pare-Pare? Cukup paham kah dia bahwa di Serui dan Wamena belum membutuhkan stadion besar tapi fasilitas kesehatan yang lebih mendesak? Keadaan geografis dan kecenderungan sosial nampaknya lepas dari pemahaman Sutton dalam menempatkan sepak bola ditengah masyarakat indonesia.
Sepak bola dalam beberapa wilayah di indonesia sudah menjadi identitas dan medio eksistensial sebuah generasi. Sebut saja Persebaya bagi masyarakat Surabaya yang menjadikan tim itu sebagai perwakilan keberadaan masyarakat Jawa Timur, bukan Arema atau Persela Lamongan. Hal tersebut mudah dipahami oleh Bonek mengingat lanskap kota surabaya sendiri sudah menjanjikan fasilitas publik yang layak. Bagaimana jika seandainya stadion semegah Wembley berdiri di Manokwari sebagai home tim Perseman manokwari? Sungguh sangat tak pantas jika di sebelah stadion ternyata masih berdiri sekolah yang terbuat dari anyaman bambu dan fasilitas MCK masyarakatnya masih terkonsentrasi di pinggiran sungai.
Tidak etis rasanya jika kita menggeneralkan euforia sepak bola di seluruh wilayah indonesia sama dengan para Bobotoh memperlakukan Persib yang mereka cintai dengan taraf hidup yang masih compang-camping di beberapa tempat. Cepat atau lambat, semoga dia menyadari kondisi ini dan kembali menceritakan itu semua dalam bukunya yang mungkin akan dia terbitkan lagi nanti.
Pertandingan PSM melawan Persipura menarik perhatian Antony Sutton untuk menyaksikannya secara langsung di Makassar. Saya tidak tahu apakah itu kali pertamanya masuk di Mattoanging, yang jelas bahwa dia menyadari bahwa PSM adalah legenda sepak bola nasional tapi masih melihat kondisi fasilitas stadion berbanding terbalik dengan euforia di dalamnya. Besar harapan saya bahwa Sutton menceritakan pengalamannya di Makassar dalam blog atau bukunya kelak, agar kawan-kawannya di Inggris tahu bahwa gairah sepak bola bukan hanya bergelora dan dimainkan di Pulau Jawa saja.
pic via twitter @JakartaCasual