Tiap bertanding harus menang. Seperti itulah cara kita mengimani pertandingan sepakbola (kecuali pada dua praktik sepakbola gajah ala Indonesia, oleh timnas dan klub peserta liga). Kita memberlakukan dogma ‘harus menang’ nyaris di semua jenis format kompetisi sepakbola, profesional atau amatir, turnamen atau kompetisi, ataupun yang berjenis kelompok usia. Istilah gaulnya, ‘bisa kelar hidup loe’ kalau melihat betapa garangnya emak-emak memarahi pelatih SSB ketika anaknya tidak mendapat menit bermain saat bertanding dan timnya kandas.
Kompetisi reguler yang level senior pun seperti itu, banyak yang marah/protes/memaki ketika tim kebanggaannya defisit poin pada satu turnamen atau kompetisi panjang. Stegmadnews menulis artikel tentang kompetisi senior di situsnya. Gagal lolos dari fase grup yang dialami PSM Makassar karena dua pertandingan dengan nol poin pada gelaran Piala Presiden 2017 kali ini tidak serta merta kita harus menganggap ini sebagai kegagalan jilid dua yang dialami PSM Makassar dari skuat yang berlabel ‘The Dream Team’. Mungkin banyak dari kita yang masih ingat bagaimana harapan kepada ‘The Dream Team’ era Sumardi dkk, begitu meninggikan ekspektasi kita dan ternyata hasil akhirnya membuat kita kecewa.
Ibarat perjalanan udara sebuah pesawat, penumpang (skuat PSM Makassar) yang dipiloti Rene Alberts, Co-pilot Imran Amirullah dkk, dan awak kabin kak Widya Syadzwina ini masih dalam kondisi mabuk udara. Mental dan teknik pemain per individu belum berada dalam kesadaran kolektif yang sama. Saya kira bukan hanya peserta Piala Presiden saja yang mengalami situasi seperti ini, seluruh tim calon peserta liga resmi pun bisa dikatakan demikian. Hal ini bisa kita lihat dari gencarnya tim-tim berburu pemain di bursa transfer yang bisa menjawab keinginan format liga yang berlaku.
(Saya) sebagai suporter yang gak bijak-bijak amat memandang kalau ada baiknya kita menahan diri untuk tidak berkomentar pesimis dan melempar kesalahan kepada pelatih dan pemain. Kita harus percaya kalau spirit Siri’ Na Pacce itu teruji oleh jam terbang yang tinggi, kerja kolektif yang sungguh-sungguh dan profesional. Seperti halnya kejayaan kita di laut yang dibuktikan oleh pelaut-pelaut Bugis-Makassar. Terlatih oleh keganasan ombak dan kerasnya badai yang ditempuh ribuan mil dari jarak dermaga yang juga menjadi pekarangan rumah para pelaut kita.
Setidaknya ada beberapa hal yang menjadikan skuat PSM Makassar ini masih dalam kondisi mabuk udara.
Kondisi eksternal secara nasional mempengaruhi kondisi internal bagi keseluruhan tim peserta liga. Kepengurusan baru (jika kita tidak ingin menyebutnya rezim) PSSI yang diketuai oleh Jenderal Edy Rahmayadi ini mewarisi banyak masalah krusial dari kepengurusan-kepengurusan sebelumnya. Diantaranya skorsing dari FIFA, kompetisi resmi tidak berjalan dan kekacauan pembinaan pemain usia remaja dan usia muda. Majalah Tempo bulan November 2016 silam sampai memberi judul ‘Kami Mulai dari Minus’ dari hasil wawancaranya dengan Ketua Umum PSSI yang baru ini.
Menjadi pengetahuan baru bagi kita saat PSSI mengeluarkan regulasi dan format kompetisi yang baru. Beberapa regulasi yang baru diwajibkan PSSI terhadap semua klub peserta liga, diantaranya untuk level kompetisi yang diikuti PSM Makassar hanya diperbolehkan mengontrak pemain berusia 35 tahun maksimal 2 orang, Jumlah pemain asing maksimal 3 orang yang salah satunya mengharuskan 1 pemain asing asal Asia, kewajiban berikutnya yaitu komposisi pemain U-23 sebanyak 5 pemain diharuskan masuk line-up dan 3 pemain wajib tampil sebagai starter.
Kondisi serba baru ini tentu membuat Rene Alberts harus memutar otak, bagaimana membangun komposisi tim yang tidak hanya kuat, tapi bisa menjawab segala situasi serba kemungkinan dan ketidakmungkinan yang akan terjadi di 34 pertandingan resmi PSM Makassar yang akan bergulir mulai Maret nanti.
Sakit, cedera, akumulasi kartu, kelelahan, jadwal timnas, hingga skors pemain adalah serba kemungkinan yang akan dihadapi kondisi skuat Rene Alberts nanti. Menjaga skuat terbaik dan stabil sepanjang musim berjalan dengan regulasi yang diwajibkan PSSI tentu sangat sulit dengan format liga seperti ini.
Bagaimana dengan ketidakmungkinan itu?. Kondisi ketidakmungkinan itu ketika ada klub peserta liga yang melakukan praktik pemalsuan dokumen usia pemain. Jika ini dipraktikkan, ketidakmungkinan pengelolaan sepakbola yang jujur pasti akan terjadi (lagi).
Optimisme kita kepada PSM Makassar karena musim ini manajemen klub yang lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Salah satu bukti adalah keberhasilan manajemen memulangkan Hamka Hamzah dan Zulkifli Syukur ke PSM. Kembalinya dua pemain ini tidak bisa dilihat sebagai proses transfer yang lazim. Statement Hamka Hamzah yang memuji keseriusan manajemen bisa kita nilai sebagai perbaikan manajemen yang sudah terjadi di PSM Makassar. Dengan situasi ini, manajemen menumbuhkan kembali kepercayaan pemain lokal lainnya bahwa ada siri’ yang (wajib) dijaga dari dua pihak. Pemain lokal akan siri’ jika tidak bermain spartan, manajemen akan siri’ jika menyalahi kontrak yang ada. (sesimple ini ji menurutku yang dibilang siri’). Hehehe
Dengan segala situasi konkret yang terjadi saat ini dan capaian PSM Makassar di Piala Presiden yang (dianggap) buruk, kita harus objektif menilai kondisi skuat PSM yang masih kondisi mabuk udara. Regulasi penerbangan baru yang diciptakan otoritas liga juga belum dikuasai sepenuhnya oleh pilot dan co-pilot klub kebanggaan kita.
Semoga reputasi Rene membawa Arema Juara dan hasil memuaskan turnamen (rasa kompetisi) tahun lalu berlanjut pada kemampuan pilot Rene Alberts menganalisis dan menjaga kestabilan mesin pesawatnya, dan perlahan membuat seisi pesawat tidak mabuk udara lagi.
Yang tersisa nilai siri’ bagi kita sebagai suporter adalah dukungan terhadap klub dengan membeli tiket saat menonton dan memborong merchandise official yang dirilis oleh klub. Itu ji.