Tak bisa disangkal, kita hidup di dunia dimana banyak manusia yang mempertuankan ego mereka. Dan celakanya, tak sedikit dari mereka yang bangga akan hal itu. Terlebih bila hal itu menyangkut sesuatu yang sangat mereka sukai. Mereka rela melakukan hal apapun guna menyuap ego-ego liar mereka.работни обувки fw34 steelite lusum s1p 38
normamascellani.it
covorase man
bayern münchen spieler
karl sneakers
addobbi fai da te matrimonio
prestonstadler.com
spoločenské šaty pre moletky
fingateau.com
lifeonthevineministries.com
Tak terkecuali Dadang, siswa putus sekolah yang begitu mencintai olahraga sepakbola, khususnya tim kesukaan dia, Persib Bandung. Ia begitu mencintai Tim Maung, yang mungkin saja menjadi alasan ia tak bersekolah lagi. Fenomena macam ini, tak sukar untuk ditemui belakangan ini. Dengan mengatasnamakan passion dan loyalitas, banyak anak-anak yang rela menomorduakan sekolah terhadap apa-apa yang mereka sukai. Hal itu wajar, kodrat manusia memang seperti itu, bukan?
Sederhananya, cara kerja ego seperti ini; ia lahir bersama individu, dan akan berkembang mengikuti kebutuhan individu tersebut. Seiring bertumbuhnya kebutuhan individu, maka semakin besar pula ego yang ia bawa. Hal inilah yang nantinya akan bertubrukan dengan akselerasi modernisme, moralitas, dan kondisi sosial si empu ego.
Kembali ke si Dadang. Dia hari ini tampak semringah bukan main. Bukan, bukan karena Persib abis menang. Tapi, malam ini PON Jabar cabang sepakbola akan main di partai penentu emas melawan PON Sulsel. Selaku tuan rumah, Jabar jelas harus menang, haram hukumnya kalah di tanah legenda, kurang lebih begitulah pikir Dadang.
Akan tetapi, bukan itu yang membuat ia girang. Keputusan panpel untuk menggratiskan tiket masuk membuat Dadang tidak berpikir dua kali. Dan yang bikin dia lebih excited lagi, dia baru saja membeli laser pointer yang didapatnya dari toko online OLX, kemarin sore. Laser tersebut hendak ia bawa ke stadion Jalak Harupat untuk meneror pemain lawan, dan untuk kebutuhan psikisnya, untuk beri makan egonya; dipamerkan ke teman-teman!
Selayaknya pertandingan Persib vs PSM, suporter PSM dan bobotoh bandung memadati Stadion Jalak Harupat. Walau cuma sekaliber PON, partai ini cukup menarik banyak perhatian penonton (ya, mungkin ini efek tiket masuk gratis juga). Tak terkecuali Dadang dan kawan-kawannya yang masuk dan duduk di bagian selatan stadion. Beruntung bagi mereka, laser pointer yang Dadang bawa aman dan tak tersentuh petugas. Ya wong ini cuma final PON, tanda kutip, ya pengamanan tidak terlalu ketat, batin Dadang.
Selama pertandingan bergulir, laser pointer Dadang jadi bahan rebutan teman-temannya untuk sekedar dilihat bahkan dicoba tembakkan ke arah lapangan. Dadang tak henti-hentinya tersenyum tipis, betapa bangganya dia menjadi pusat perhatian teman-temannya. Kebutuhan ego-nya telah terasupi dengan baik malam ini.
Pertandingan sendiri berlangsung sama kuat. Hingga 120 menit waktu bermain, pemenang belum bisa ditentukan. Maka, adu penalti pun menjadi solusi guna mendapatkan satu pemenang pada PON tahun ini. Kedua kapten suit koin untuk menentukan siapa yang menendang duluan dan di gawang sebelah mana yang akan menjadi zona tarung. Keputusan penendang pertama jatuh pada algojo Jabar dan akan dilakukan di gawang sebelah selatan.
Riuh rendah penonton mengiringi prosesi penuh ketegangan ini. Tapi tidak bagi Dadang dkk, yang justru begitu bersemangat karena mereka mendapatkan sudut yang sangat baik untuk menikmati drama ini. Satu per satu algojo pinalti kedua tim maju menjalankan misi. Celaka bagi Jabar, karena satu algojo mereka gagal menceploskan bola ke gawang. Dadang dan seluruh pendukung Jabar kini sangat was-was. Tiba saatnya penendang penentu dari Sulsel, jika bola ini masuk, maka Sulsel akan menyabet medali emas pertama dalam sejarah.
Para pemain dan penonton Jabar mulai berdoa dan berharap keajaiban terjadi. Seketika itu pula Dadang terkesiap. “Aha! Sekarang waktunya!”. Ia meraih laser pointer-nya dan mengarahkan ke algojo terakhir Sulsel. Ia tidak begitu yakin hal itu akan membantu, namun ia berharap dapat men-distraksi konsentrasi algojo pirang tersebut. Dan… yash! Bola berhasil ditepis. Harapan Jabar kini kembali terbuka, dan momentum kini berada di pihak mereka. Betapa girang dan bangganya Dadang saat upayanya tersebut membuahkan hasil. Tidak cukup sampai disitu, di babak sudden death, ia kembali melancarkan serangan visual tersebut ke arah pemain sulsel yang hendak menendang, dan hasilnya? Tendangan Sulsel ditepis, dan Jabar berhasil menang dan mendapatkan medali emas di rumah mereka sendiri!
Sorak sorai penonton di Jalak Harupat seketika pecah. Dan bak seorang pahlawan, Dadang begitu di elu-elukan oleh teman-temannya. “PON Jabar harus berterima kasih padaku”, gumamnya.
Akan tetapi ada satu hal yang Dadang dan teman-temannya luput, bahwa pertandingan ini disiarkan secara live oleh salah satu tv swasta. Dan aksinya tadi jelas terekam di kamera dan semua yang nonton dari rumah tau. Cukup diketahui oleh masyarakat Sulsel yang geram dan menjadikan laser miliknya trending topic di media. Thug life, Dang!
##
Lantas, apa yang bisa kita ilhami dari cerita si Dadang di atas? Apakah Dadang salah dalam menyuap egonya? Atau aksi yang ia lakukan berada dalam batas kewajaran? Mungkin kalo kau tanya ke Awkarin, ya dia pasti bakal bilang masih dalam batas kewajaran. Hihihi
Penulis bukannya mau sok suci dan langsung menghakimi Dadang penuh dosa, akan tetapi apa yang ia lakukan tentu telah mencederai estetika dan konstitusi sepakbola. Terlepas dari seberapa besar pengaruh laser ajaibnya mengalihkan konsentrasi pemain lawan, satu hal yang jelas, ia telah melakukan sesuatu hal yang bodoh.
Tolol.
Goblok.
Fenomena ini bukan barang hangat di dunia sepakbola. Jika menilik ke belakang, ada begitu banyak rangkaian sejarah dunia laser peng-laseran di lapangan hijau. Pemain sekaliber Ronaldo dan Messi pun tak luput dari sasaran laser. Dan khusus untuk orang Indonesia, kejadian laser yang paling diingat tentu saja pada partai final leg pertama AFF 2010 kala timnas Indonesia menghadapi tuan rumah Malaysia. Saat itu Timnas harus menelan kekalahan 0-3, dan fenomena laser oleh suporter Malaysia kepada pemain Indonesia menjadi perbincangan hangat oleh media-media Indonesia. (Padahal sebenarnya suporter Indo duluan yang main laser pas fase grup di Jakarta, ups).
Bagaimana dengan peraturan FIFA? Apakah ada regulasi menyangkut hal ini? Jawabannya ya, ada. Dengan sangat jelas dan terang terpampang pada FIFA Stadium Safety and Security Regulations, pada artikel 29 Security Checks, poin c:
“…That the person is not in possession of any other dangerous objects that
may not, for legal reasons, be taken into the stadium, including aggressive
or racist banners and laser pointers.”
Pada pedoman yang dibuat induk sepakbola dunia ini (terserah kalau masih ada yang bersikeras PSSI masih belum jadi bagian FIFA blabla, saya tetap ambil dari pedoman tertinggi) dengan jelas tercantum kata laser pointer adalah salah satu barang HARAM yang TIDAK BOLEH dibawa masuk ke dalam stadion. So, sekarang penulis boleh mengatakan, tindakan Dadang, suporter Persib, itu salah.
Mari mengulur benang merah lebih jauh lagi. Seperti yang diutarakan diatas, ini bukan barang baru lagi. Kejadian macam ini bisa kita temukan dimanapun di stadion-stadion seluruh Indonesia. Masih banyak Dadang-Dadang lainnya diluar sana yang bersembunyi dibalik topeng fanatisme mereka dan melakukan tindakan “pelecehan” tersebut. Sekarang pertanyaannya, mengapa masih ada saja orang yang seperti ini? Kalau kita menggunakan teori kausalitas dalam filsafat logika, maka keamanan atau security bukanlah kausa prima dalam isu ini. Melainkan ego dan gengsi para penonton sepakbola yang menonton langsung di stadion. Seperti yang telah penulis paparkan di awal tulisan. Lubang ini yang harus kita benahi bersama. Jika kita, sebagai penikmat sepakbola, masih beranggapan isu ini hanya isu kecil dan melakukan pembiaran terhadap kasus ini, maka berhenti berharap sepakbola kita bisa maju. Revolusi dan bersih-bersih bukan cuma jadi tugas birokrasi sepakbola (baca: PSSI) yang diatas, tapi jika kita ingin sepakbola kita maju secara kaffah, revolusi dan bersih-bersih juga harus disasarkan pada diri kita, para penikmat. Hal itu kita bisa mulai dari hal yang paling kecil, seperti isu ini. Hal inilah yang sudah sepatutnya kita cemaskan bersama. Walaupun penulis sadari bahwa hanya sebagian kecil dari kita yang masih berkelakuan seperti Dadang diatas, akan tetapi alangkah baiknya bila kita, setidaknya, tidak melakukan pembiaran pada hal-hal sepele seperti ini. Karena jika orang baik yang mengetahui sesuatu buruk terjadi, melakukan pembiaran, maka disitulah degradasi nilai benar-benar terjadi.