Pada tanggal 2 November 2015, tim kesayangan rakyat Sulawesi Selatan, PSM Makassar, genap berusia 100 tahun. Untuk memperingati ulang tahun ke-100 tersebut, berbagai pihak berusaha sekeras mungkin membuat perayaan ulang tahun PSM meriah.Sayangnya, perayaan tersebut tidak bisa dibarengi dengan kemeriahan kompetisi Liga Indonesia, berhubung sepak bola negara ini sedang di berada di bawah sanksi FIFA.
Menurut saya pribadi, PSM saat ini ibaratnya seorang kakek tua yang di masa jayanya pernah hebat, tapi sekarang semua cerita kehebatannya itu terasa seperti mitos belaka. Kita sebagai fans, pendukung dan pengagum tak ubahnya anak-anak yang duduk manis untuk mendengarkan cerita-cerita kehebatan sang kakek di masa lalu, sembari tetap berharap semoga suatu saat kakek kesayangan kita ini akan kembali siap menghadapi para pesaing yang berusia lebih muda.
Cerita tentang hebatnya PSM sudah bermula dari masa dekade-dekade awal kemerdekaan Indonesia.Di masa kompetisi perserikatan, PSM pertama kali menjuarai kompetisi perserikatan di tahun 1957.Lalu setelah itu menguasai salah satu kompetisi terbesar di Indonesia ini dengan menjadi juara di tahun 1959, 1965, 1966, bergantian dengan tim-tim raksasa kala itu, yaitu PSMS Medan, Persija Jakarta dan Persib Bandung.
Sayangnya, semua gelar juara itu kini hanya tersisa menjadi dua bentuk: yang pertama hanya menjadi catatan sejarah dan yang kedua menjadi cerita yang diceritakan secara lisan dari mulut ke mulut, layaknya mitos. Ya, kehebatan PSM di dekade 1950-an dan 1960-an yang melibatkan figur Ramang, contohnya.Sedari kecil, saya selalu mendengar cerita kehebatan Ramang semasa di PSM, juga ketika sang legenda membela tim nasional Indonesia yang menahan imbang Uni Sovyet di Olimpiade 1956.
Konon, saking kerasnya tendangan Ramang, penjaga gawang lawan pernah dibuat muntah darah ketika menahan tendangannya.Namun, mengapa saya tadi bilang cerita-cerita itu tidak lebih dari mitos?Karena tidak ada dokumentasi yang benar-benar menunjukkan kiper korban Ramang itu muntah darah di atas lapangan.Lebih parah lagi, sangat sedikit dokumentasi yang menunjukkan kehebatan Ramang di atas lapangan. Beberapa yang bisa kita temukan di internet hanyalah foto-foto buram.
Mungkin bisa dimaklumi jika di dekade 1950-an atau 1960-an, teknologi dokumentasi belum secanggih sekarang. Tapi jika kita sedikit maju ke dekade 1990-an dan 2000-an, tidak jauh berbeda.Kita hanya tahu PSM pernah menjadi juara Liga Indonesia di tahun 2000. Namun, apa peninggalan dari hari bersejarah itu? Sangat susah menemukan foto-foto final yang mempertemukan PSM dan PKT Bontang di stadion utama Senayan tersebut. Bahkan, nyaris tidak ada foto selebrasi Kurniawan dan Rahman Usman setelah mencetak gol.Tidak ada dokumentasi ketika kapten Bima Sakti menerima piala bergengsi itu dari tangan menteri olah raga atau presiden saat itu.Akhirnya, kita pun tidak bisa mengingat apakah final di tahun tersebut dihadiri oleh Presiden Abdurrahmad Wahid atau tidak.
Ah, seandainya PSM punya museum yang mengabadikan pernik-pernik bersejarah seperti di museum Barcelona atau Real Madrid, misalnya.
Sayang memang, para pengurus sepak bola di negeri kita pada umumnya belum berpikir panjang tentang pendokumentasian momen-momen berharga sebuah klub.Bisa dilihat dampaknya di kehidupan kita saat ini. Saya sendiri sudah sangat sering berbicara dengan anak-anak muda asal Sulawesi Selatan yang berusia sekitar 17 sampai 22 tahun tentang PSM, dan nyaris semuanya tercengang begitu saya menceritakan kehebatan Juku Eja di masa lalu. Sebagai seseorang yang sudah memasuki usia kepala tiga, cukup beruntung saya sempat menjadi saksi kehebatan PSM. Saya ingat, ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, saya bersorak gembira ketika PSM dengan heroik mengatasi perlawanan Persipura di semifinal liga Indonesia 1995-1996 dengan skor 4-3. Saya bilang heroik karena saat itu PSM mengejar ketinggalan dari skor 1-3 hingga membalikkan keadaan menjadi 4-3.Meski demikian, beberapa hari berselang PSM harus mengakui keunggulan Mastrans Bandung Raya di final dengan skor 0-2.Setahun kemudian, PSM kembali melenggang ke Senayan sebelum dikandaskan oleh Persebaya dengan skor 2-3.Singkat cerita, PSM selalu menjadi klub papan atas sampai akhirnya menjadi kampiun di tahun 2000. Makanya, saya selalu gemas dan geregetan jika anak-anak zaman sekarang seolah tidak percaya PSM pernah mengungguli Persipura, Arema atau Persib Bandung, nama-nama klub yang saat ini dianggap terkuat di Indonesia.
Sampai tahun 2004, PSM masih mencicipi posisi terhormat dengan dua kali menjadi runner-up di tahun 2003 dan 2004. Selain itu, prestasi PSM di Asia pun berkibar dengan menembus delapan besar Piala Champions Asia 2000-2001, bahkan sampai dipercaya menjadi tuan rumah.Nah, fakta ini juga sering mengundang keraguan baru. Anak-anak muda yang mungkin di awal millennium masih berusia balita itu akan sukar mempercayai bahwa Stadion Andi Mattalatta atau Mattoanging pernah menjadi tuan rumah pagelaran bergengsi itu. Bisa dimaklumi jika melihat kondisi stadion tersebut sekarang yang jauh dari ideal.
Selama sepuluh tahun terakhir, harus diakui kebesaran PSM memang memudar di kancah persepakbolaan nasional. Sialnya, baru beberapa tahun terakhir, kecanggihan teknologi internet diperkaya dengan perkembangan teknologi penunjang seperti smartphone dan sosial media. Pendokumentasian berita sepak bola pun tidak lagi hanya bergantung kepada mereka yang berprofesi sebagai jurnalis atau fotografer olahraga.Siapapun kini bisa mendokumentasikan sepak bola nasional dengan semakin pesatnya perkembangan sosial media.Sangat disayangkan, perkembangan teknologi ini justru baru pesat setelah PSM mulai kering prestasi.Padahal, bisa dibayangkan betapa hebohnya rakyat Sulawesi Selatan di sosial media andaikata Twitter, Facebook dan kawan-kawannya sudah ada di tahun 2000.
Poin yang ingin saya sampaikan adalah yang pertama, tentu saja, bahwa semua kebesaran PSM di masa lalu itu bukanlah mitos belaka.Hanya saja, sangat disayangkan kita tidak punya semacam ‘museum’ atau bahkan ‘monumen’ yang bisa membawa ingatan kita kembali ke masa itu setiap kali kita ingin mengenangnya. Juga, sebuah system dokumentasi yang rapi juga bisa menjadi modal yang bagus bagi kita untuk meneruskan cerita kehebatan legenda-legenda PSM seperti Ramang, Kurniawan Dwi Julianto hingga Rahman Usman kepada anak cucu kita nanti.
Namun bagaimanapun juga, saya yakin momen ulang tahun ke-100 PSM ini adalah momen-momen pas untuk menjadi perenungan serta titik balik untuk kembali berprestasi.Sehingga ketika saat itu tiba, kita bisa memenuhi baik media sosial maupun kehidupan nyata dengan rasa bangga kita sebagai pendukung PSM.Semoga pada saat itu, banyak foto, gambar, tulisan, sampai video yang mengabadikan kesuksesan tersebut.
Selamat ulang tahun yang ke-100, PSM, ewako!